FAKTA.COM, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa fluktuasi harga yang dialami oleh nikel saat ini merupakan hal lumrah. Menurut dia, kondisi tersebut menunjukkan karakteristik nikel sebagai salah satu komoditas penting dunia.
Pernyataan ini disampaikan Luhut guna menanggapi komentar Thomas (Tom) Lembong, mantan Menteri Perdagangan Kabinet Kerja yang kena reshuffle pada 2016.
“Anda perlu melihat data panjang, semisal 10 tahun. Anda kan pebisnis juga (tahu kalau) siklus komoditas itu naik-turun. Ini kita lihat harga nikel US$15.000. Bahkan dalam periode 2014-2019, di saat periode awal kita hilirisasi, harga rata-rata nikel US$12.000an,” ujar dia, dikutip Kamis (25/1/2024).
Luhut menjelaskan, Indonesia sebagai negara produsen nikel terbesar dunia, berupa menjaga harga tetap seimbang. Pasalnya harga jual yang tinggi maupun rendah akan memberikan dampak tersendiri bagi perekonomian nasional.
“Toh harus mengerti kalau harga nikel terlalu tinggi akan sangat berbahaya. Kita harus belajar dari kobalt yang mana tiga tahun lalu harganya tinggi. Akhirnya, orang mencari cara untuk membuat baterai (kendaraan listrik). Akhirnya, lahirlah Lithium Ferro Phosphate (LFP),” tutur dia.
“Nah kalau nikel kita membuat harga tinggi maka orang akan mencari alternatif lain. Ingat teknologi berkembang cepat. Oleh karena itu kita harus mencari keseimbangan harga agar barang kita tetap dibutuhkan,” imbuhnya.
Luhut menambahkan, kelebihan nikel sebagai bahan baku baterai lithium adalah dapat didaur ulang. Sementara baterai LFP masih belum bisa digunakan kembali.
“Sekali lagi teknologi berkembang cepat. Kita harus bersyukur, bahwa kita juga sedang mengembangkan FLP dengan Tiongkok. Begitu pula dengan baterai lithium,” kata dia.