Relokasi Industri Asing Melesat ke Vietnam, Indonesia Tertinggal Jauh

Presiden Prabowo Subianto bersama Sekjen Partai Komunis Vietnam, To Lam, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (10/3/2025). ANTARA/Livia Kristianti
FAKTA.COM, Jakarta – Di tengah peluang besar dari pergeseran rantai pasok global dan relokasi industri dari Tiongkok, Indonesia justru terlihat tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, mengungkap data mencolok soal minimnya relokasi industri asing ke Indonesia.
Berdasarkan data Japanese Government-Related Organization (JETRO), relokasi perusahaan-perusahaan dari China dan Jepang ke negara-negara ASEAN sebagian besar akan berlabuh di Vietnam.
Rinciannya tujuan relokasi yakni 196 pergi ke Vietnam, Thailand kebagian 92, Malaysia 61, sementara Indonesia hanya 59.
Temuan ini memperkuat kekhawatiran para pengamat bahwa Indonesia belum mampu menjadi tujuan utama investasi industri global, meski secara ukuran ekonomi dan populasi cukup besar.
Beberapa faktor disebut menjadi penyebab utama kegagalan tersebut, mulai dari iklim usaha yang tidak kondusif, biaya ekonomi tinggi, hingga kebijakan yang terlalu berpihak pada proteksionisme.
Yose menilai bahwa kebijakan ekonomi Indonesia yang cenderung tertutup atau inward-looking justru menghambat kemajuan industri dalam negeri.
Ia memberi contoh konkret soal hilirisasi dan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang dinilai tidak memberikan manfaat signifikan.
“TKDN itu dari semua studi yang dilakukan, termasuk studi yang dilakukan oleh CSIS, menunjukkan bahwa dia tidak memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan sektor industri kita,” ujar Yose dalam diskusi daring pada Senin, (28/4/2025).
Menurut Yose, sektor industri yang sifatnya downstream tidak mendapatkan manfaat, karena mereka menjadi kesulitan mendapatkan part dan komponen. Sementara sisi upstream, akan cenderung tak berkembang.
Kebijakan yang terlalu memaksakan seluruh rantai pasok berada di dalam negeri juga disebut menjadi penghalang.
Salah satu alasannya adalah karena Indonesia menginginkan semua supply chain itu berada di Indonesia. Padahal supply chain dari pembuatan baterai itu dari mining-nya sampai ke tingkatan manufacturing ataupun juga recycling-nya itu cukup panjang sekali.
Dalam pandangan Yose Rizal, pendekatan seperti ini justru membuat investor enggan datang karena dianggap tidak realistis dan menutup peluang kolaborasi global.