Menyoal Proyeksi Defisit Transaksi Berjalan Indonesia, Masih Optimis?

Ilustrasi Neraca Dagang. (Dok. Kemenkeu)
FAKTA.COM, Jakarta – Bank Indonesia (BI) optimis defisit transaksi berjalan Indonesia masih dapat dijaga. Adapun tahun ini, pihaknya memperkirakan defisit transaksi berjalan RI akan berada di kisaran 0,5-1,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, bagaimana pendapat lembaga lain?
Sejumlah lembaga memproyeksikan Indonesia akan catatkan defisit neraca transaksi berjalan lebih lebar. Faktor utamanya adalah kebijakan tarif dagang Amerika Serikat (AS) yang akan memberikan distorsi pada dinamika perdagangan internasional.
International Monetary Fund (IMF) dalam laporan bertajuk World Economic Outlook (WEO) yang dirilis, Selasa (22/4/2025) memperkirakan defisit transaksi berjalan RI akan berada di angka 1,5 persen. Ini lebih tinggi dari perkiraan BI maupun catatan tahun lalu, yakni 0,6 persen terhadap PDB.
Namun, Gubernur BI, Perry Warjiyo tidak begitu mengkhawatirkan proyeksi tersebut. Terutama dalam pengaruhnya terhadap neraca pembayaran secara keseluruhan.
“Jadi defisit transaksi berjalan, kami meyakini dapat dipenuhi dari surplus transaksi modal dan finansial sehingga secara keseluruhan neraca pembayaran akan surplus,” ujarnya.
Di samping itu, posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia masih kuat. Per Maret ini, dicatatkan sebesar US$157,1 miliar yang mana merupakan catatan tertinggi sepanjang sejarah.
Menyoal Optimisme Bank Indonesia
Jika melihat data transaksi berjalan Indonesia, sebagian besar ditopang oleh neraca perdagangan. Artinya, meskipun BI optimis bisa menopang kinerja transaksi berjalan melalui pos portofolio asing, tekanan pada neraca dagang sebagai imbas dari kebijakan tarif Presiden Donald Trump tentu memberikan dampak yang signifikan.
Hal serupa pernah diungkapkan oleh Ekonom INDEF, Abdul Manap Pulungan dalam sebuah diskusi secara daring, Kamis (17/4/2025). Menurutnya, jika perang dagang AS-Tiongkok memanas, maka ada potensi Indonesia kebanjiran barang produksi Tiongkok.
Hal ini, berimplikasi pada tekanan neraca dagang. Padahal, pos itu merupakan penopang terbesar transaksi berjalan Indonesia.
“Karena inilah yang menopang agar neraca transaksi berjalan tidak defisit sangat besar,” jelas Abdul.
Terlebih, dalam negosiasi tarifnya, Indonesia berencana untuk mengimpor lebih banyak barang ke AS. Menanggapi hal ini, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengungkap bahwa langkah ini perlu dilakukan dengan hati-hati.
“Lonjakan impor dari AS hingga 60 persen, dapat menghapus surplus dagang Indonesia, memperbesar defisit transaksi berjalan, dan menggeser pemasok lama serta industri domestik jika tidak dikendalikan secara tepat,” ujar Syafruddin dalam keterangan tertulis, Kamis (24/4/2025).
Dalam kesempatan lain, DBS Research Group memperkirakan defisit transaksi berjalan Indonesia tahun ini akan dicatatkan sebesar 0,8 persen terhadap PDB. Angka ini masih dalam rentang analisis Bank Indonesia, yakni 0,5-1,3 persen terhadap PDB.
“Dengan asumsi penurunan surplus perdagangan barang sebesar 20 persen tahun ini dan defisit pada kategori barang tak terlihat,” ujar Ekonom Senior Bank DBS, Radhika Rao dalam keterangan tertulis, Senin (21/4/2025).
Sementara itu, Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) memperkirakan defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar 1,5 persen terhadap PDB. Angka yang sama dengan proyeksi IMF.
“Dari sisi current account kita bisa dapat defisit lebih tinggi. Forecast kami itu 1,5 persen terhadap PDB,” ucap Ekonom Senior SSI, Fithra Faisal Hastiadi dalam webinar Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (PEBS FEB) Universitas Indonesia, Rabu (16/4/2025).