AS Klaim Pasar Mangga Dua jadi Sarang Barang Palsu

Tampak depan Pasar Pagi Mangga Dua, Jakarta. (Dok. Pasar Pagi Mangga Dua)
FAKTA.COM, Jakarta – Amerika Serikat (AS) menyoroti maraknya peredaran barang palsu di Pasar Mangga Dua, Jakarta. Fakta tersebut tertuang dalam dokumen "2025 National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers" yang dirilis, Senin (31/3/2025).
Dalam laporan tersebut, United States Trade Representative (USTR) menyebutkan bahwa Pasar Mangga Dua masuk dalam pantauan pasar yang terkenal dengan pembajakan merek dagang dan pelanggaran terhadap hak cipta.
Karena itu, USTR mendorong pemerintah agar membangun sistem perlindungan atas penggunaan komersial yang adil, termasuk soal urusan hak cipta dan merek dagang.
Menanggapi laporan tersebut, Direktur Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk memperketat pengawasan pelaksanaan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) di Tanah Air.
“Jadi kita tidak luput dari itu, pemerintah juga tetap berkomitmen menerapkan kebijakan HKI dan kawan-kawan di Dirjen HKI juga terus melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum, itu tetap dilakukan,” tegas Djatmiko dalam media briefing, Senin (21/4/2025), di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta.
Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional, Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono.
Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional, Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono tanggapi laporan USTR dalam konpers di Jakarta, Senin (21/4/2025). (Fakta.com/Muhammad Azka Syafrizal)
Terkait polemik ini, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan bahwa pengawasan pemerintah terhadap peredaran barang ilegal memang masih banyak catatan.
“Sikap pemerintah Indonesia yang selama ini cenderung menunggu laporan dari pemegang merek sebelum menindak pelanggaran HKI harus diubah,” ujar Achmad dalam keterangan tertulis, Senin (21/4/2025).
Hematnya, pendekatan seperti ini menunjukkan kesan bahwa negara bersikap pasif atas pelanggaran hukum. Oleh sebab itu, Achmad menyarankan agar paradigma penegakan persoalan hak cipta ini lebih berbasis pengelolaan sistemik dan proaktif, alih-alih hanya menunggu laporan saja.
Meski begitu, terkait penertiban yang dilakukan, terutama kepada pedagang kecil, seperti UMKM, Achmad juga bilang bahwa sebagian besar dari mereka tidak berniat buruk.
Hanya saja, mereka terpaksa menjual barang palsu lantaran tidak mampu mengakses barang legal karena harganya yang mahal sehingga margin dagangnya menjadi kompetitif.
“Pemerintah harus hadir memberi pendampingan bagi UMKM agar bisa beralih ke produk legal dan bahkan memproduksi merek sendiri,” jelas Achmad.
Menurutnya, upaya ini dapat dilakukan dengan program pendampingan hukum, perluasan akses pembiayaan untuk produksi legal, hingga subsidi dalam transisi dari barang palsu menjadi resmi.
“Dengan begitu, kebijakan penertiban tidak menimbulkan korban ekonomi baru di kalangan rakyat kecil,” pungkas Achmad.