AS Tak Suka QRIS dan GPN, Ini Tanggapan Bank Indonesia

Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti dalam konpers Edukasi Keuangan PMI di Gedung Dhanapala, Kemenkeu, Jakarta, Senin (21/4/2025). (Fakta.com/Kania Hani Musyaroh)
FAKTA.COM, Jakarta – Bank Indonesia (BI) menanggapi persoalan terkait pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menyoroti kebijakan sistem pembayaran Indonesia seperti Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) saat pemerintah Indonesia melakukan negosiasi tarif resiprokal pada beberapa waktu lalu.
Kabinet Presiden Donald Trump menilai bahwa sistem pembayaran ini dapat menjadi suatu hambatan perdagangan dan membatasi ruang gerak perusahaan asing. QRIS disebut sebagai salah satu penghalang akses pasar bagi perusahaan-perusahaan asal AS.
Sebagaimana tercantum dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis akhir Maret 2025, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Representative (USTR) menyampaikan kritik terhadap regulasi PADG Nomor 21/18/PADG/2019 yang menjadi dasar implementasi QRIS.
"Perusahaan-perusahaan AS, termasuk bank dan penyedia layanan pembayaran, mengkhawatirkan proses pengambilan kebijakan QR BI yang dianggap kurang melibatkan pihak internasional serta tidak memberi cukup ruang untuk integrasi dengan sistem global," tulis USTR dalam laporannya.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti, buka suara terkait hal ini namun enggan menjawab secara spesifik. Hal tersebut ia sampaikan dalam konferensi pers Edukasi Keuangan Pekerja Migran Indonesia dalam rangka Perayaan Hari Kartini bertajuk “Perempuan Berdaya dan Cerdas Finansial” di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (21/4/2025).
Destry mengatakan bahwa penggunaan sistem pembayaran QRIS atau fast payment lainnya akan selalu diterapkan pemerintah Indonesia melalui prinsip kerja sama yang setara dengan negara lain tanpa membeda-bedakan. Dapat dikatakan pula implementasi sistem pembayaran (QRIS) antarnegara ini tergantung dari kesiapan masing-masing negara.
Kemudian, USTR menyoroti Peraturan BI Nomor 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) mewajibkan semua transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan harus memiliki izin dari BI.
Dalam peraturan tersebut menerapkan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20 persen pada perusahaan yang ingin memperoleh izin switching untuk berpartisipasi dalam GPN, yang melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik.
Destry mengatakan bahwa menurutnya hal ini seharusnya tidak menjadi suatu masalah karena bagaimanapun hingga saat ini sistem pembayaran asal AS, yaitu Visa dan Mastercard masih mendominasi sistem pembayaran di Indonesia sehingga tetap unggul meskipun Indonesia memiliki QRIS dan sistem pembayaran domestik melalui GPN.
“Sampai sekarang pun kartu kredit yang selalu diributin [seperti] Visa, Mastercard kan masih juga yang dominan. Jadi itu enggak ada masalah sebenarnya,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, ia mengatakan bahwa BI akan terus menjalankan perannya dalam meningkatkan kemajuan sistem pembayaran dan memperlancar sistem pembayaran.
Sebagai informasi, sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko) Airlangga Hartarto, mengatakan pemerintah telah berkoordinasi dengan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait masukan dari pihak AS akan QRIS dan GPN.
"Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia, terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika," ujar Airlangga dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (19/4/2025).