Program 3 Juta Rumah Berpotensi Serupa Krisis Perumahan dan Finansial AS 2008

Foto udara kawasan kompleks perumahan di Malang, Jawa Timur, Jumat (29/11/2024). (ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/rwa)
FAKTA.COM, Jakarta – Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengkritisi kondisi ekonomi Indonesia dan menyampaikan sejumlah masukan tajam kepada Presiden Prabowo Subianto.
Sebelumnya, dalam "Sarasehan Ekonomi bersama Presiden RI" di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025), Wijayanto telah mengatakan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah konkret, realistis, dan tidak terjebak pada program-program ambisius yang tidak sesuai dengan kapasitas fiskal dan kondisi ekonomi saat ini.
Menurutnya, perekonomian Indonesia saat ini tengah menghadapi empat tantangan besar, yaitu pelemahan fiskal, depresiasi nilai tukar Rupiah, deindustrialisasi dini, serta menurunnya daya beli masyarakat.
“Poin yang pertama kita semua sudah tahu, tantangan fiskal. Kalau kita melihat pada kuartal pertama kok situasinya tidak akan membaik. Belum lagi tahun ini penerimaan dari dividen BUMN yang ditargetkan Rp90 triliun, itu hilang karena masuk Danantara. Ini tantangan penerimaan,” tegas dia.
Hal itu ia sampaikan dalam Diskusi Publik Universitas Paramadina bertajuk “Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly” di Jakarta, Kamis (17/4/2025)
Wijayanto juga menyoroti program besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilai terlalu ambisius karena melihat target penerima yang cukup besar dalam kurun waktu yang sangat cepat ini dinilai terlalu optimis dan tidak realistis.
“Program-program besar, misalnya MBG sekarang baru melayani tiga juta orang. Masa masih pada optimis, November nanti melayani 83 juta. Saya enggak paham caranya itu. Ini kan learning curve-nya luar biasa. Fakta bahwa targetnya 83 juta [penerima] pada November, itu menurut saya tidak akan terwujud,” katanya.
Selain MBG, Wijayanto mengkritisi program pembangunan tiga juta rumah per tahun yang menurutnya tidak realistis karena keterbatasan lahan dan rendahnya daya beli masyarakat. Ia menyebut Indonesia bisa mengalami krisis properti seperti yang terjadi di Amerika Serikat (AS) jika program ini dipaksakan.
“Rakyat kita daya belinya sedang turun. Kita enggak belajar yang terjadi di Amerika adalah pemerintah Amerika memfasilitasi rakyat untuk bisa dapat rumah termasuk yang berpenghasilan rendah. Jika mereka dikasih berbagai insentif, mereka membeli. Ketika ekonomi mengalami perlambatan sedikit, mereka kehilangan pekerjaan, mereka enggak bisa nyicil. Akhirnya rumah dikembalikan. Tiba-tiba di pasar perumahan Amerika itu banyak rumah dijual second hand murah, harga properti drop,” jelasnya.
Ia juga memperingatkan tentang ketidaksiapan Indonesia menghadapi kebijakan proteksionisme Presiden AS Donald Trump. Menurutnya, Trump akan kembali meningkatkan tarif untuk menambal defisit anggaran AS dan Indonesia harus siap bernegosiasi secara bilateral, bukan lewat ASEAN yang dianggap tidak efektif oleh Trump.
Lebih lanjut, Wijayanto menyerukan pentingnya kabinet yang ramping dan solid sebagai syarat mutlak agar pemerintahan Presiden Prabowo bisa bekerja efektif. Struktur kabinet dan perwakilan kementerian yang terlalu banyak dinilai kurang efektif.
Ia juga mengingatkan bahwa disconnect antara elit dan realitas rakyat harus diakhiri. Ia menilai bahwa pemimpin sering kali hanya menerima laporan yang terlalu optimis dan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Ia menegaskan bahwa ilusi tersebut harus dihentikan, Presiden harus mengetahui dengan baik realitas yang terjadi agar kebijakan yang diambil benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.
“The disconnect between the leaders and reality. Pemimpin kita di-feeding dengan informasi-informasi yang menurut saya tidak benar. Bahwa Indonesia baik, keuangan baik, ini baik, ini semuanya jalan dengan baik, MBG jalan dengan baik. Ini harus di-disconnect, harus diakhiri. Pemimpin top leadership harus connect dengan reality,” pungkasnya.