Pelonggaran Impor: Strategis Sekaligus Ancam Industri Nasional

Ilustrasi - Arus fiskal demi pertumbuhan ekonomi didukung oleh logistik. (Dok. Kemenkeu)
FAKTA.COM, Jakarta – Merespons kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat, pemerintah memilih untuk melakukan negosiasi. Salah satunya melalui upaya relaksasi impor. Adapun gagasan yang mencuat ke permukaan adalah relaksasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dan penghapusan kuota impor.
Gagasan ini pertama kali muncul dalam acara "Sarasehan Ekonomi bersama Presiden Republik Indonesia" di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025). Kala itu, Presiden RI Prabowo Subianto menyebutkan bahwa kebijakan TKDN kurang realistis, meski maksudnya baik. Di samping itu, pembatasan kuota impor juga disebut Prabowo tidak fleksibel dan ruwet.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia (SSI), Fithra Faisal Hastiadi mengapresiasi langkah tersebut.
“Sesuai dengan nasihat kami—Trade Economist, ini sudah baik,” kata Fithra dalam webinar Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (PEBS FEB) Universitas Indonesia yang dilaksanakan secara daring, Rabu (16/4/2025).
Hemat Fithra, kebijakan TKDN di Indonesia saat ini terlalu ketat dengan threshold yang terbilang tinggi. Hal ini yang membuat industri Indonesia kurang kompetitif. Selain itu, impor yang dibatasi alih-alih melindungi produk dalam negeri, justru disebut Fithra dimanfaatkan sebagian pihak untuk praktik rent seeking.
“Di situ ada birokrasi dan kemudahan korupsi,” imbuh Fithra.
Terlebih, Fithra menilai objektivitas Presiden Donald Trump dalam peningkatan tarif resiprokal ke sejumlah negara, termasuk Indonesia adalah semata-mata untuk mengurangi defisit dagang AS. Walhasil, memberikan relaksasi impor merupakan modal penting untuk negosiasi.
Apalagi, ancaman tarif dagang AS kian nyata, bukan hanya mempengaruhi kinerja perekonomian saja, tetapi juga memberikan tekanan pada fundamental perekonomian.
Misalnya, defisit neraca transaksi berjalan bisa melebar hingga 1,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hal inilah yang nantinya berimplikasi pada depresiasi nilai tukar Rupiah.
“Hal ini pada akhirnya memicu slower growth, kalau forecast [pertumbuhan ekonomi] kami tahun ini sudah 4,8 persen,” imbuh Fithra.
Di sisi lain, Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi mengungkap Indonesia sedang dihadapkan dengan kondisi sulit, seperti tekanan daya beli hingga masifnya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
“Di tengah situasi ini, membuka pintu impor lebih lebar hanya akan memperlemah industri nasional yang seharusnya dilindungi,” jelas Syafruddin dalam keterangan tertulis, Rabu (16/4/2025).
Hal ini disebut Syafruddin menunjukkan bahwa pemerintah ingin meredakan tekanan ekonomi luar dan melupakan upaya penguatan fondasi ekonomi dalam negeri.
“Jika arah diplomasi dagang terus dibiarkan seperti ini, Indonesia berisiko kehilangan daya saing dan semakin tergantung pada kepentingan negara lain,” pugkas Syafruddin.