Hadapi Tarif Trump, Pengusaha Jajaki Opsi Impor Kapas

Ilustrasi – Tanaman kapas. (Dok. Kementan)
FAKTA.COM, Jakarta – Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, membuat banyak negara, termasuk Indonesia, harus memutar otak.
Pemerintah Indonesia kini tengah mempertimbangkan strategi alternatif agar dampaknya terhadap ekspor nasional bisa ditekan. Salah satu langkah yang mencuat: menjadikan kapas sebagai komoditas impor strategis.
Langkah ini dinilai penting untuk menopang industri tekstil dalam negeri, yang saat ini menghadapi tekanan besar akibat lonjakan tarif ekspor ke AS hingga 32 persen. Seperti diketahui, kebijakan resiprokal yang diterapkan Trump berdampak pada lebih dari 60 negara, termasuk Indonesia.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaya Kamdani, menilai peningkatan impor dari AS, termasuk kapas, bisa membantu menyeimbangkan neraca perdagangan antara kedua negara.
Hal tersebut ia sampaikan usai rapat bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Senin (7/4/2025).
Ketua APINDO, Shinta Widjaya Kamdani.
Ketua APINDO, Shinta Widjaya Kamdani buka opsi impor kapas dari AS demi hadapi aturan tarif impor baru AS ketika berbincang dengan media di Jakarta, Senin (7/4/2025). (Fakta.com/Trian Wibowo)
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa. Menurutnya, pelaku industri tekstil siap mendukung langkah pemerintah.
"Mengenai hal ini, kita bisa menambah volume impor kapas. Saat ini, porsi impor kapas dari AS hanya sekitar 17 persen dari total impor global. Angka ini masih bisa ditingkatkan," jelas Jemmy saat ditemui di tempat yang sama.
Namun demikian, Jemmy menekankan perlunya kolaborasi menyeluruh dari sektor industri, mulai dari hulu hingga hilir.
Ia juga mendorong dialog langsung dengan pelaku usaha asal Amerika melalui forum seperti Cotton Council International (CCI).
Jemmy mengingatkan bahwa langkah negosiasi jauh lebih baik ketimbang membalas dengan kebijakan tarif serupa.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (AFSyFi), Redma Gita Wirawasta, melihat kebijakan impor dari AS sebagai peluang besar, bukan sekadar respons krisis.
“Nah ini sebetulnya yang bisa kita gunakan untuk menjaga kinerja ekspor kita ke Amerika. Dan itu bukan hal yang baru sebetulnya,” kata Redma dalam sebuah forum daring pada Jumat (4/4/2025).
Ia menambahkan, Indonesia sempat sangat bergantung pada kapas asal Amerika untuk memenuhi sekitar 50 persen kebutuhan nasional.
Sayangnya, menurut Redma tren tersebut menurun drastis, dari nilai impor hampir US$300 juta menjadi hanya sekitar US$140 juta saat ini.
Begitupun berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi kapas dalam negeri hanya mampu menyumbang satu persen dari total kebutuhan kapas nasional. Sementara data impor menunjukkan kecenderungan penurunan yang cukup besar baik dalam volume maupun nilai impor dari 2018 ke 2020
“Artinya kenapa kita kapasnya turun dari mereka dan kapas impor pun turun karena memang kita sudah terlalu banyak impor kain. Pasar kita dibanjiri oleh kain dan benang dari negara lain, termasuk impor pakaian jadinya,” imbuh Redma.
Menurut Redma, jika kapas dari AS kembali dimanfaatkan secara optimal dan diolah di dalam negeri, maka Indonesia bisa memenuhi syarat minimal kandungan bahan baku asal AS yang dibutuhkan untuk mendapatkan fasilitas pengurangan tarif dari program Reshoring Incentive Manufacturing Exemption (RIME) yang digagas AS.
“Kalau kita menggunakan kapas Amerika lebih banyak dan kapas itu dipintal ke sini, ditenun atau dirajut di Indonesia, terus dibikin garmen di Indonesia, kita pasti akan dapat [pengurangan tarif]. Karena di dalam dokumen itu [syarat] 20 persen itu sudah pasti tercapai,” paparnya.
Tak hanya itu, Redma optimis strategi ini akan meningkatkan utilisasi di sektor pemintalan dan berdampak positif bagi seluruh rantai pasok industri tekstil nasional.
“Nah ini harus jadi PR untuk kita semua untuk menormalkan kembali kondisi industri kita. Artinya, utilisasi di pemintalan akan naik, utilisasi di tenun, rajut, sampai ini semuanya akan naik,” tutup Redma.
Dengan dukungan kuat dari pelaku industri dan komitmen pemerintah dalam merespons tantangan global, peluang untuk mempertahankan dan bahkan memperkuat ekspor tekstil Indonesia ke pasar Amerika Serikat masih terbuka lebar. Kini, yang dibutuhkan adalah langkah konkret dalam kebijakan impor serta diplomasi dagang yang cerdas dan terarah.