Trump Naikkan Tarif! Industri Tekstil Terancam, Pemerintah Harus Cermat Bertindak

Konferensi Pers Update Kondisi Industri TPT dan Sikap Asosiasi Terhadap Penerapan Tarif Impor Amerika Serikat Kepada Indonesia. (Tangkapan layar)
FAKTA.COM, Jakarta - Kebijakan tarif dagang resiprokal yang diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump sejak (2/4/2025) berpotensi memberikan dampak signifikan bagi industri tekstil Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyoroti penerapan kebijakan ini yang berlaku dalam waktu singkat tanpa masa tenggang yang cukup.
"Kalau biasanya masa tenggangnya lama, ini maksimal nggak sampai seminggu sudah langsung berlaku. Tentu ini akan mempengaruhi banyak perdagangan Indonesia dengan Amerika, khususnya untuk tekstil," ujar Redma dalam Konferensi Pers Update Kondisi Industri TPT dan Sikap Asosiasi Terhadap Penerapan Tarif Impor Amerika Serikat Kepada Indonesia, secara daring pada Jumat (4/4/2025).
Menurutnya, sekitar 35-40 persen ekspor tekstil Indonesia, termasuk benang, kain, dan pakaian jadi, ditujukan ke Amerika Serikat.
"Pakaian jadinya hampir sekitar 60-70 persen dari ekspor kita ke sana. Indonesia sendiri posisinya cukup baik, kita ini pemasok pakaian jadi terbesar kelima di Amerika setelah China, India, Vietnam, dan Bangladesh," lanjutnya.
Terpukul, tapi Masih Bisa Bangkit
Redma menegaskan, penerapan tarif ini merupakan strategi Trump untuk mengurangi defisit perdagangan AS. Dengan Indonesia mencatatkan defisit perdagangan sebesar US$ 17 miliar terhadap AS, negeri ini ikut menjadi target kebijakan tersebut.
"Jadi yang pertama ini kan tarif ini target pemerintahnya Donald Trump itu adalah memotong defisit perdagangan. Kenapa Indonesia dikenakan tarif juga? Karena defisit perdagangan Amerika dengan kita itu sampai US$17 miliar," jelasnya.
Meskipun defisit perdagangan AS dengan China dan Vietnam jauh lebih besar, yakni di atas US$100 miliar, angka defisit dengan Indonesia tetap dianggap signifikan sehingga masuk dalam daftar negara yang dikenakan tarif tambahan.
Lebih lanjut, Redma menekankan bahwa banyak pihak yang salah memahami kebijakan ini. Termasuk soal sikap ingim merelaksasi impor dari AS.
"Saya lihat ada beberapa pihak yang menyikapinya dengan ingin menghapus atau merelaksasi impor, itu salah besar,” tegasnya.
“Ada juga yang beranggapan kalau solusinya melonggarkan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), ini juga keliru. Justru kalau kita salah langkah, dampaknya bisa lebih buruk untuk industri kita,” imbuhnya.
Bersaing atau Tersingkir?
Selain Indonesia, negara lain seperti China, Vietnam, Bangladesh, dan India juga terkena dampak tarif ini. Redma menilai bahwa kesulitan mereka mengekspor ke AS akan mendorong mereka untuk mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia.
"Kalau mereka kesulitan di sana, mereka pasti akan mencari pasar lain, dan Indonesia ini salah satu target besar karena jumlah penduduk kita besar, konsumsi kita juga tinggi," ungkapnya.
Jika Indonesia merespons kebijakan tarif dagang AS dengan merelaksasi impor, menurut Redma, hal itu bisa menjadi kesalahan besar.
Alih-alih meningkatkan ekspor, kebijakan tersebut justru berisiko membanjiri pasar domestik dengan produk impor, yang pada akhirnya dapat semakin melemahkan industri dalam negeri.
Dampaknya, pemutusan hubungan kerja (PHK) berpotensi meningkat tajam jika kebijakan yang diambil tidak tepat.
Sebagai solusi, APSyFI mendesak pemerintah untuk mengambil langkah strategis guna melindungi industri dalam negeri, termasuk dengan memperkuat regulasi dan menjaga daya saing produk lokal agar tetap kompetitif di pasar global.