Indonesia Terjepit Tarif AS: Diplomasi Lemah, Posisi Tawar Melemah

Presiden AS Donald Trump. (ANTARA)
FAKTA.COM, Jakarta - Kebijakan tarif tambahan sebesar 32 persen yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap produk Indonesia menimbulkan ancaman serius bagi perekonomian nasional.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menegaskan, alasan yang digunakan AS dalam menetapkan tarif tersebut sangat menyesatkan.
Menurut Andry, AS menggunakan metode perhitungan yang keliru dengan membagi defisit perdagangan dengan total ekspor, bukan berdasarkan tarif sebenarnya.
“Metode ini cacat, tapi dijadikan alasan untuk menekan kita secara sepihak. Ini bentuk proteksionisme terang-terangan yang merugikan Indonesia,” ujar Andry dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/4/2025).
Tarif tambahan ini memberikan dampak signifikan terhadap sektor ekspor utama Indonesia, terutama tekstil, pakaian, dan alas kaki yang menyumbang 27,5 persen dari total ekspor ke AS. Selain itu, komoditas strategis lainnya seperti kelapa sawit dan karet juga turut terdampak.
Dampak yang ditimbulkan bukan hanya pada perdagangan, tetapi juga pada ketenagakerjaan. Andry mengingatkan, dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 30 pabrik di sektor tekstil dan turunannya telah tutup.
“Jika pemerintah terus diam, kita bukan hanya kehilangan pasar utama, tetapi juga menghadapi gelombang PHK yang jauh lebih besar,” tegasnya.
Kekosongan posisi Duta Besar RI untuk AS sejak Juli 2023 menjadi sorotan tajam di tengah situasi ini.
“Sudah hampir dua tahun kita tidak memiliki wakil di Washington, padahal AS adalah mitra dagang kedua terbesar kita. Ini bukan sekadar kelalaian, tetapi pengabaian terhadap kepentingan nasional,” kritik Andry.
Dia menegaskan, jabatan Duta Besar RI untuk AS bukanlah sekadar posisi simbolis, melainkan garis depan pertahanan perdagangan Indonesia.
Oleh karena itu, Andry mendesak Presiden Prabowo untuk segera menunjuk Duta Besar yang memiliki rekam jejak kuat di bidang perdagangan dan investasi.
“Setiap hari tanpa perwakilan di AS adalah hari di mana posisi tawar kita melemah. Kita kehilangan momentum, kehilangan peluang, dan kehilangan kendali,” pungkasnya.
Diplomasi Mandul: Saat Retorika tak Lagi Cukup
Sementara itu, ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menekankan, diplomasi perdagangan membutuhkan lebih dari sekadar pertemuan-pertemuan elitis dan retorika belaka.
"Saran untuk mengandalkan mekanisme perjanjian kerangka kerja perdagangan dan investasi di ASEAN (US-Indonesia Trade and Investment Framework Agreement/TIFA) dan solidaritas ASEAN terdengar mulia di atas kertas, tetapi sejarah membuktikan bahwa pendekatan ini sering kali tidak membuahkan hasil signifikan," kata Achmad di keterangannya secara tertulis.
Menurutnya Indonesia dan negara-negara ASEAN masih terjebak dalam diplomasi yang lebih banyak diskusi daripada aksi konkret.
Sementara, AS di bawah kepemimpinan Trump saat ini menganut pendekatan transaksional yang keras.
"Mereka tidak akan menggugurkan tarif hanya karena protes atau janji-janji. Indonesia perlu menawarkan sesuatu yang konkret dan bernilai bagi AS," tambahnya.
Achmad menawarkan dua langkah strategis yang dapat dilakukan Indonesia untuk menghadapi kebijakan tarif AS.
Pertama, membangun kemitraan strategis di bidang mineral kritikal, terutama nikel dan timah yang vital bagi industri teknologi AS. Penyederhanaan regulasi bagi investor AS tanpa mengorbankan kepentingan nasional juga perlu dilakukan untuk menarik investasi.
Kedua, memberikan paket insentif khusus untuk perusahaan-perusahaan AS yang bersedia memindahkan basis produksi ke Indonesia.
Langkah ini dapat menjadikan Indonesia lebih kompetitif dibandingkan negara-negara lain yang juga mengincar relokasi industri dari AS.
"Soal solidaritas ASEAN, kita harus jujur: selama ini ASEAN lebih sering menjadi forum diskusi daripada kekuatan nyata. Ketika Vietnam justru mendapat keuntungan dari perang dagang AS-China dengan menarik relokasi pabrik, Indonesia malah sibuk berdebat tentang proteksionisme. Diplomasi ASEAN sungguh tidak dapat diandalkan," pungkas Achmad.














