Dihantam Tarif 32% AS, Indonesia Gaspol Strategi Lawan Tekanan Ekspor!

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menerapkan kebijakan tarif perdagangan yang memicu kekhawatiran di berbagai negara.
FAKTA.COM, Jakarta - Pemerintah Indonesia menyiapkan langkah strategis untuk merespons kebijakan tarif resiprokal AS.
Pada 2 April 2025, Presiden AS Donald Trump resmi mengenakan tarif 32 persen dari basis tarif 10 persen yang diterapkan ke semua negara.
Kebijakan ini berlaku mulai 9 April 2025 dan berpotensi melemahkan daya saing ekspor Indonesia, terutama di sektor elektronik, tekstil, alas kaki, minyak sawit, karet, furnitur, serta perikanan.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso mengatakan, pemerintah akan segera menghitung dampaknya terhadap sektor terdampak dan ekonomi nasional serta menyiapkan langkah mitigasi.
Menurutnya stabilitas Surat Berharga Negara (SBN), nilai tukar Rupiah, dan likuiditas valas akan dijaga bersama Bank Indonesia guna menopang dunia usaha dan ekonomi.
“Sejak awal tahun, Indonesia telah mengantisipasi kebijakan ini dengan strategi negosiasi dan koordinasi lintas kementerian, perwakilan di AS, serta pelaku usaha. Pemerintah juga terus berkomunikasi dengan AS di berbagai tingkatan, termasuk mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington DC,” tegas Susi dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (3/4/2025).
Sebagai bagian dari negosiasi, Indonesia telah menyiapkan langkah untuk menjawab permasalahan yang diangkat AS dalam laporan National Trade Estimate (NTE) 2025.
Presiden Prabowo, lanjut Susi, telah menginstruksikan Kabinet Merah Putih untuk melakukan reformasi struktural dan deregulasi, termasuk penyederhanaan serta penghapusan regulasi penghambat perdagangan, khususnya terkait Non-Tariff Measures (NTMs).
Langkah ini bertujuan meningkatkan daya saing, menarik investasi, dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja.
Di tengah berbagai upaya pemerintah dalam merespons kebijakan tarif ini, muncul beragam pandangan dari pakar ekonomi dan kebijakan publik yang melihatnya sebagai tantangan yang masih dapat dikelola.
Salah satu pandangan yang menyeimbangkan perspektif ini disampaikan oleh ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat. Menurutnya kepanikan terhadap kebijakan tarif AS ini dinilai berlebihan.
"Kepanikan yang melanda pelaku usaha saat ini berlebihan," ujarnya dalam keterangannya yang diterima Fakta.com, Kamis (3/4/2025).
Dia menyoroti ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang 12 persen dari total ekspor nasional—angka yang jauh lebih kecil dibandingkan ketergantungan Vietnam sebesar 28 persen atau Meksiko sebesar 36 persen.
Menurutnya, sektor-sektor yang paling terdampak seperti tekstil dan alas kaki justru sudah lama mengalami kesulitan akibat ketidakmampuan berinovasi dan ketergantungan berlebihan pada tenaga kerja murah.
"Jadi sektor yang terdampak dari Tarif 32 persen Trump yaitu TPT dan alas kaki tersebut sebenarnya sejak lama kehilangan daya saing akibat ketergantungan pada tenaga kerja murah, bukan semata karena tarif AS," tambahnya.
Di balik ancaman ini, terdapat peluang besar bagi Indonesia. Pertama, industri elektronik bisa beralih dari sekadar perakitan menjadi penguasaan teknologi, mengikuti jejak Vietnam yang sukses menarik investasi semikonduktor.
Kedua, sektor pertanian dan kelautan memiliki potensi besar di pasar Timur Tengah dan Afrika yang selama ini terabaikan. Kenaikan tarif pada produk kayu justru bisa menjadi momentum untuk mengembangkan industri furnitur bernilai tambah tinggi, bukan sekadar ekspor kayu gelondongan.
Ia juga menekankan bahwa neraca perdagangan Indonesia masih dalam kondisi surplus, yakni US$3,12 miliar pada Februari 2025.
"Yang sering dilupakan banyak pihak adalah bahwa neraca perdagangan kita masih surplus—US$3,12 miliar pada Februari 2025. Pelemahan rupiah lebih disebabkan faktor eksternal seperti kenaikan yield obligasi AS, bukan semata-mata oleh kebijakan tarif ini," katanya.
Di sisi lain, Ekonom sekaligus Presiden Komisaris INDEF, Fadhil Hasan juga memberikan analisisnya terkait dampak kebijakan ini.
"Saya perkirakan dampaknya terhadap ekspor Indonesia tergolong moderat mengingat pangsa AS dalam ekspor Indonesia sebesar 10,5 persen walau trade surplus-nya paling besar, mencapai 16,8 miliar dolar," ujar Fadhil di keterangan tertulisnya.
Ia menekankan bahwa karena tarif resiprokal ini juga berlaku bagi negara pesaing Indonesia seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina, tidak ada negara pesaing yang secara khusus diuntungkan.
"Sama-sama menghadapi level tarif bahkan ada yang lebih tinggi," tambahnya.
Namun, dia justru lebih mengkhawatirkan dampak kebijakan ini terhadap nilai tukar Rupiah serta konsekuensi lanjutannya terhadap sektor fiskal, utang swasta, dan pemerintah.