Perang Tarif Trump, Ancaman Serius Ekspor Indonesia

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menerapkan kebijakan tarif perdagangan yang memicu kekhawatiran di berbagai negara. (Dok. White House)
Fakta.com, Jakarta - Kebijakan tarif perdagangan yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump memicu kekhawatiran di berbagai negara, termasuk Indonesia. Tarif resiprokal yang mencapai 54 persen terhadap lebih dari 60 negara, termasuk tarif 32 persen untuk produk Indonesia, dianggap sebagai ancaman serius bagi daya saing ekspor nasional.
Tarif yang dikenakan terhadap Indonesia tidak proporsional dibandingkan dengan negara lain. Dengan defisit perdagangan sekitar US$18 miliar, Indonesia justru dikenai tarif yang lebih tinggi dibandingkan negara seperti Vietnam dan Tiongkok yang memiliki defisit lebih besar.
Pengenaan tarif 32 persen terhadap Indonesia diperkirakan akan berdampak besar pada sektor ekspor, khususnya di industri padat karya seperti tekstil, furnitur, dan alas kaki.
Pengamat Departemen Ekonomi, Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai kenaikan harga jual akibat tarif tinggi dapat membuat produk Indonesia kehilangan daya saing di pasar AS, berpotensi mengakibatkan penurunan permintaan dan ancaman terhadap lapangan kerja di dalam negeri.
"Tarif setinggi ini akan menaikkan harga jual, mendorong buyer berpaling ke negara lain, dan memicu risiko pemutusan hubungan kerja massal di dalam negeri," ujarnya.
Ia mengatakan pemerintah Indonesia diharapkan mengambil langkah proaktif dalam merespons kebijakan perdagangan AS ini. Salah satu strategi yang diusulkan adalah membangun koalisi dagang berbasis "zero tariff" dengan negara-negara berkembang lainnya yang terkena dampak kebijakan Trump.
“Kita dapat menawarkan model perdagangan bebas yang benar-benar adil—tanpa diskriminasi, tanpa sanksi sepihak, dan berbasis prinsip resiprositas sejati,” ucapnya.
Selain itu, diversifikasi pasar menjadi solusi lain agar Indonesia tidak bergantung pada negara-negara tertentu. Ekspansi ke pasar Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan dapat mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS dan Eropa.
Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh Trump memunculkan pertanyaan tentang masa depan perdagangan global. Jika pendekatan proteksionisme ini terus berlanjut, keberadaan World Trade Organization (WTO) sebagai pengatur perdagangan multilateral bisa semakin terpinggirkan.
“Jika dunia mengikuti jejak ini, maka WTO akan kehilangan relevansi dan proteksionisme akan menjadi norma baru,” jelasnya.
Sebagai anggota G20, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memperjuangkan sistem perdagangan yang lebih adil dan inklusif. Dengan mendorong diplomasi ekonomi yang kuat serta transformasi industri berbasis inovasi, Indonesia dapat tetap kompetitif di tengah ketidakpastian perdagangan global.