Mogok Bayar Pajak Gegara UU TNI? Negara Terancam Rugi Rp236,7 Triliun!

Sejumlah petugas kepolisian berjaga mengamankan jalannya unjuk rasa menyikapi UU TNI, di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya, Senin (23/3/2025). (ANTARA/Naufal Ammar Imaduddin)
FAKTA.COM, Jakarta – Undang-undang TNI yang resmi disahkan dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025), menuai sentimen yang beragam dari masyarakat. Tak sedikit warganet, bahkan meresponnya dengan seruan aksi mogok bayar pajak.
Lantas, apakah hal ini berimplikasi signifikan terhadap penerimaan negara?
Penolakan membayar pajak sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah, termasuk pengesahan UU TNI dan kebijakan lain yang berpolemik, tidak bisa dianggap remeh.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menyoroti bahwa aksi ini dapat berdampak signifikan terhadap penerimaan negara.
“Soal reaksi masyarakat dengan menyerukan penolakan membayar pajak paska pengesahan UU TNI dan kebijakan berpolemik lain jangan dianggap sepele. Imbasnya bisa signifikan ke pendapatan negara,” ujarnya saat dihubungi Fakta.com pada Jumat (28/3/2025).
Berdasarkan data realisasi APBN Kita per Februari 2025, pajak orang pribadi, yang mencakup Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21), berkontribusi sebesar 18,46 persen terhadap total penerimaan pajak.
Jika terjadi aksi penolakan pembayaran pajak secara masif, Bhima bilang potensi kerugian negara dapat mencapai Rp236,7 triliun.
Ia juga mengingatkan bahwa jika pelaku usaha turut serta dalam gerakan ini, maka estimasi kerugiannya akan jauh lebih tinggi.
“Kalau ramai-ramai menolak bayar pajak, termasuk kalau pelaku usaha tidak setor pajak penghasilan karyawan, maka penerimaan pajak bisa anjlok,” imbuh Bhima.
Padahal, baru-baru ini, Bank Dunia merilis kajian berjudul "Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia" pada Kamis (27/3/2025). Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menyoroti adanya celah dalam sistem perpajakan di Indonesia yang berpotensi menyebabkan kebocoran, terutama terkait dengan PPh Badan.
Rata-rata penerimaan PPh Badan yang hilang akibat ketidakpatuhan adalah sekitar Rp160 triliun. Artinya, jika seruan ini juga dilakukan sektor usaha maka angkanya akan jauh lebih tinggi.
Selain potensi kehilangan penerimaan dari pajak penghasilan, masyarakat dapat melakukan penghindaran terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Hal ini bisa dilakukan dengan beralih belanja ke warung tradisional yang tidak terkena PPN atau mengurangi konsumsi barang ritel.
Jika pola ini berlangsung dalam jangka panjang, maka dampaknya tidak hanya pada penerimaan pajak, tetapi juga pada perlambatan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Untuk menutupi potensi kehilangan penerimaan pajak, pemerintah kemungkinan akan meningkatkan penerbitan utang.
“Jadi bayangkan saja untuk tutup defisit APBN dengan situasi saat ini saja penarikan utang periode Januari 2025 naik 41 persen, apalagi defisit makin lebar,” tutup Bhima.