FDI Indonesia Terpusat di Lima Negara Termasuk China, CSIS: Ini Berisiko

CSIS terbitkan laporan hasil penelitian studi ketergantungan strategis ekonomi RI di Jakarta, Senin (24/3/2025). (Fakta.com/Kania Hani Musyaroh)
FAKTA.COM, Jakarta – Penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengungkapkan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada beberapa negara tertentu dalam melakukan perdagangan dan investasi. Ketergantungan ini berisiko besar terhadap stabilitas ekonomi nasional, terutama di tengah ketidakpastian geopolitik global yang semakin meningkat.
Dalam laporan CSIS, disebutkan bahwa lebih dari 50 persen dari total ekspor maupun impor Indonesia itu hanya dikuasai atau kita cuma berdagang dengan lima negara terbesar. Laporan tersebut dirilis di Jakarta, Senin (24/3/2025).
China menjadi mitra dagang utama, menyumbang 25 persen ekspor dan 28 persen impor Indonesia. Sementara itu, investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) juga terpusat pada lima negara, yaitu Singapura, China, Hongkong, Jepang, dan Malaysia, yang mencakup 75 persen dari total investasi asing ke Indonesia.
Peneliti CSIS, Dandy Rafitrandi, mengatakan saat ini Indonesia masih sangat terkonsentrasi dalam perdagangan internasionalnya, lebih dari 50 persen ekspor dan impor hanya berpusat pada lima negara utama.

Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Dandy Rafitrandi dalam seminar terkait ketergantungan strategis ekonomi RI di Jakarta, Senin (24/3/2025). (Fakta.com/Kania Hani Musyaroh)
Ketergantungan ini berpotensi menimbulkan risiko, terutama jika terjadi perubahan kebijakan, krisis ekonomi, atau ketegangan geopolitik di negara mitra dagang tersebut. Jika salah satu negara mengalami gangguan, dampaknya bisa langsung terasa pada perdagangan Indonesia.
“Jadi mungkin kita harus lihat lagi nih, kalau misalnya terjadi apa-apa gitu ya dengan negara X, Y, atau Z. Nah ini yang akan menimbulkan kerawanan-kerawanan tersebut baik ekspor dan juga impor,” ucap Dandy dalam seminar bertajuk "Ketergantungan Strategis Indonesia dan Tantangan Penyusunan Kebijakan di Masa Depan", Senin (24/3/2025), di Jakarta.
Ia menekankan pentingnya untuk melihat strategi diversifikasi perdagangan guna mengurangi risiko dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Ketergantungan ini tidak hanya terjadi di sektor perdagangan dan investasi, tetapi juga di sektor-sektor strategis seperti pangan dan energi.
“Temuannya bahwa dua area yang menjadi sangat penting untuk kita amati yang terkait dengan strategic dependency adalah food and agriculture dan juga energy,” ucap Muhammad Habib selaku Peneliti CSIS.
Ketergantungan ekonomi Indonesia dinilai semakin berisiko di tengah ketegangan geopolitik global. Konflik perdagangan antara Amerika Serikat dan China, perang Rusia-Ukraina, serta ketegangan di Timur Tengah berpotensi mengganggu rantai pasok global.

Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi dan Investasi, Kemenko Perekonomian, Edi Prio Pambudi dalam seminar CSIS di Jakarta, Senin (24/3/2025). (Fakta.com/Kania Hani Musyaroh)
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi dan Investasi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Edi Prio Pambudi menilai bahwa kondisi ekonomi dunia semakin terfragmentasi, di mana negara-negara mulai mengutamakan kepentingan sendiri dibanding kerja sama multilateral.
“Sehingga akhirnya [negara] sudah mulai pelan-pelan untuk memikirkan kepentingan masing-masing. Jadi mungkin arahnya sudah mulai mengarah kepada selfish. Semua akan mengarah kepada hal yang sifatnya untuk kepentingan masing-masing negara,” ucapnya.
Ia juga menyoroti ancaman Dutch Disease, di mana Indonesia terlalu bergantung pada ekspor komoditas mentah tanpa adanya investasi di sektor industri yang bernilai tambah.
"Kalau diversifikasi produksinya terbatas, ya otomatis tidak ada nilai tambah," jelasnya.

Head of Markets and Competitiveness Prospera, Julia Tijaja dalam seminar CSIS di Jakarta, Senin (24/3/2025). (Fakta.com/Kania Hani Musyaroh)
Head of Markets and Competitiveness Prospera, Julia Tijaja, mengatakan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menarik investasi dan memperkuat perdagangan, tidak hanya dari aspek infrastruktur fisik tetapi juga regulasi dan kepastian kebijakan.
Pentingnya stabilitas kebijakan dan lingkungan bisnis yang lebih kondusif untuk menarik investor. Indonesia perlu mengambil pendekatan strategis dalam investasi dan perdagangan global dengan mempertimbangkan seluruh rantai pasok agar tidak menciptakan hambatan di sektor hulu atau hilir.
CSIS merekomendasikan beberapa langkah strategis untuk mengatasi ketergantungan ini. Pertama, Indonesia perlu memperluas kemitraan dagang dan investasi, khususnya di sektor-sektor strategis seperti energi dan pangan.
Kedua, pemerintah harus memperkuat kapasitas industri dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Ketiga, diperlukan mekanisme manajemen risiko yang lebih baik untuk menghadapi ancaman geopolitik dan gangguan rantai pasok global, serta memperluas kerja sama regional dalam ASEAN dan kawasan Indo-Pasifik.