IHSG Diprediksi Sulit Rebound ke Rp7.000 Hingga Jelang Lebaran 2025

Ilustrasi - Bursa Efek Indonesia (BEI). (Fakta.com/Trian Wibowo)
FAKTA.COM, Jakarta – Hingga akhir Kuartal I atau menjelang Lebaran 2025 nanti, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan masih cukup sulit untuk naik (rebound) ke level Rp7.000.
Ini disebabkan masih dipengaruhi oleh banyaknya sentimen dari global dan belum banyak sentimen positif yang signifikan sehingga kurang meningkatkan kepercayaan dari para investor.
Hal tersebut disampaikan oleh Head of Research and Chief Economist, PT Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto dalam “Media Day March 2025 - Iftar & Insights: Understanding Economic and Market Challenges” di Jakarta, Rabu (12/3/2025).
“Di Kuartal I mungkin masih tetap volatile untuk mencapai Rp7.000. Bukan berarti tidak mungkin, tetapi probabilitasnya masih agak rendah,” ucap Rully.
Dia memperkirakan sepanjang Kuartal I, pergerakan IHSG cenderung bergerak ke bawah atau merosot di rentang level Rp6.300 sampai dengan Rp6.700. Walaupun secara teknikal pergerakannya cenderung ke bawah, ia masih berharap pada Kuartal ini IHSG tidak sampai ke level bottom di rentang Rp6.200 sampai dengan Rp6.300.
Pergerakan ini dipengaruhi oleh sentimen dari global dan masih minimnya sentimen positif yang signifikan sehingga belum menciptakan optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi. Salah satu yang bisa mendorong pergerakan IHSG untuk kembali naik, menurutnya apabila Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuannya di Maret. Jika ini terjadi maka IHSG dapat menyentuh ke level Rp6.700-Rp6.800.

Tim Mirae Asset Sekuritas dalam “Media Day March 2025 - Iftar & Insights: Understanding Economic and Market Challenges” di Jakarta, Rabu (12/3/2025). (Fakta.com/Kania Hani Musyaroh)
“Seperti kemarin di bulan Januari ketika surprise dari Bank Indonesia terjadi, itu juga bisa mendorong IHSG untuk rebound dan bahkan bisa mendorong arus modal asing masuk kembali,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan menjelang Lebaran sektor retail akan lebih terdampak positif sehingga sektor ini perlu dilirik oleh para investor. Contohnya seperti Alfamart (AMRT), walaupun sempat mengalami penurunan tetapi secara fundamental tidak ada isu yang terlalu signifikan.
“Meskipun beberapa waktu lalu mengalami penurunan [Alfamart], tetapi saya rasa secara fundamental nggak ada isu yang terlalu signifikan. Hanya ada kekhawatiran akan operational expense itu juga karena mereka lebih agresif dalam membuka cabang-cabang di Indonesia. Mungkin efeknya dalam jangka pendek, tetapi jangka panjangnya itu harusnya akan positif,” tutup Rully.