Ekspor Sawit Merosot Rp23 Triliun, Bos Sawit: Harga Kita Dipermainkan!

Ilustrasi - Kelapa sawit. (Dok. Kemenko Perekonomian)
FAKTA.COM, Jakarta – Industri kelapa sawit nasional mengalami tekanan besar sepanjang 2024, dengan nilai ekspor yang anjlok hingga Rp23 triliun dibandingkan tahun sebelumnya.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat, total nilai ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya hanya mencapai US$27,76 miliar atau sekitar Rp440 triliun, turun 8,44 persen dari US$30,32 miliar pada 2023.
Penyusutan ekspor terjadi di hampir semua kategori produk, dengan penurunan terbesar dialami oleh biodiesel yang anjlok 76,3 persen.
Sementara itu, China menjadi negara tujuan ekspor yang mengalami penurunan paling tajam, yakni 31 persen dibanding tahun sebelumnya. Volume ekspor ke negara tersebut susut 2,38 juta ton, dari 7,73 juta ton pada tahun lalu.
Sekretaris Jenderal GAPKI, Hadi Sugeng, mengungkapkan bahwa penurunan ekspor ini disebabkan oleh ketatnya persaingan di pasar global yang membuat harga minyak sawit kurang kompetitif dibanding minyak nabati lainnya.
“Saat ini memang tengah terjadi pergeseran pasar minyak global yang begitu dinamis,” ucap Hadi saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (6/3/2025).
Hadi menyebut bahwa harga CPO sudah melampaui minyak nabati lainnya, bahkan bisa dimasukan pada kategori premium.
Sebab, soal harga yang melonjak tinggi, Ia mengkhawatirkan adalah peralihan konsumen, seperti yang sudah terjadi di India.
“Kita lihat India juga menaikkan impornya terhadap kedelai juga hampir dua juta ton selama lima bulan ini,” imbuh Hedi.
Jika negara-negara lain mulai beralih ke minyak nabati alternatif akibat tingginya harga sawit upaya untuk menarik negara importir kembali menggunakan minyak sawit akan sangat sulit.
Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga memandang bahwa atas kondisi ini, Indonesia seharusnya punya pihak yang ahli dalam menentukan harga jual produk Sawit.
“Jadi, Indonesia harus punya orang yang bisa menentukan harga, berapa harga jualnya ini. Ini kita dipermainkan oleh negara lain,” ucap Sahat dalam ruang diskusi yang sama.
Jika dibiarkan Harga yang terlampau tinggi akan menjadi boomerang bagi ekspor Indonesia. Bahkan bukan hanya pada sawit, melainkan hampir di semua komoditas. Sebab hal ini pernah terjadi dalam sejarah komoditas karet di Indonesia.
“Sejarah sudah pernah terjadi. Ingat di tahun 1950, itu terjadinya Perang Korea. Harga karet kita itu sekitar US$8,5 per kilo,” jelas Sahat.
Akibatnya, lanjut Sahat, karet sintetis mulai bermunculan sebab menawarkan margin yang cukup tinggi. Kondisi ini pada gilirannya akan menggiurkan produsen karena memperoleh keuntungan melalui proses kimia yang lebih efisien.