Laba BUMN Tak Masuk Kas Negara, Danantara Bisa Bebani APBN Rp90 Triliun/Tahun

Presiden Prabowo dan Wapres Gibran bersama mantan presiden dan wapres meluncurkan BPI Danantara di Jakarta, Senin (24/2/2025). (ANTARA/HO-Biro Pers Setpres/aa)
FAKTA.COM, Jakarta – Sovereign Wealth Fund (SWF) atau dana kekayaan negara merupakan instrumen investasi yang digunakan oleh berbagai negara untuk mengelola aset strategis dan memperkuat ekonomi nasional. SWF Indonesia dikelola melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Pengelolaan SWF di Danantara ini terus menjadi sorotan banyak pihak disebabkan adanya perbedaan tata kelola dan sumber dana yang digunakan dengan praktik terbaik di negara lainnya.
Direktur Visi Integritas, Sely Martini, mengatakan bahwa SWF atau dana yang dimiliki oleh negara ini untuk mengelola surplus dari hasil bisnis, terutama dari sumber daya alam. Dana yang terkumpul ini disimpan dengan tujuan untuk diinvestasikan kembali agar dapat menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.
“SWF ini sendiri sebenarnya investment entity yang dimiliki oleh negara yang harapannya di sini adalah bagaimana dana yang dimiliki karena surplus hasil dari bisnis negara tersebut terutama dari natural resources. Nah, surplusnya ini disimpan dengan harapan bisa diinvestasikan kembali dan menstabilkan ekonominya, dan juga untuk menjaga kesejahteraan untuk masyarakat untuk generasi yang akan datang,” jelasnya dalam Media Briefing Transparency International Indonesia (TII) bertajuk “Danantara: SWF, BUMN atau Sapi Perah Baru?” secara virtual, Kamis (6/3/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa contoh negara dengan SWF yang paling besar adalah Norwegia melalui Norway Government Pension Fund Global. SWF yang dikelola negara tersebut tidak hanya dapat menstabilkan perekonomian tetapi juga memastikan generasi mendatang dapat merasakan manfaatnya dari sumber daya alam yang ada.
Pada umumnya, sumber dana SWF dibiayai dari surplus pendapatan sumber daya alam, sedangkan Danantara mengambil dana dari laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini menimbulkan kekhawatiran apakah sumber dana dengan mengambil laba dari BUMN ini akan berjalan dengan efektif atau malah merugikan negara.
Pengamat Pasar Modal, Yanuar Rizky, mengatakan yang menjadi masalah dan kekhawatiran Danantara ini adalah struktur pengelolaan dan sumber dana yang digunakan itu berbeda dengan praktik terbaik di banyak negara lainnya.
“Kenapa sih bukan Menteri Keuangan [yang kelola SWF]? Kenapa ada Menteri BUMN? Bukankah BUMN-nya sudah menjadi holding operasional di Undang-undang itu? Ini pertanyaan kritis untuk kita menjawab sebetulnya abuse of power ini terjadi atau tidak,” ucap Yanuar.
Kemudian, ia menjelaskan perbedaan sumber dana dengan negara praktik terbaik seperti Norwegia, SWF dikelola dengan melibatkan berbagai sumber dana dari pendapatan sumber daya alam. Namun, Danantara ini mengambil dana dari laba BUMN yang seharusnya menjadi bagian dari APBN.
“Dengan adanya Danantara, dana dividen BUMN tidak dikelola lagi dalam APBN, berarti APBN akan mengeluarkan Rp90 triliun kalau kita bicara di era APBN 2025. Jadi Rp90 triliun yang tadinya akan didapat dari dividen BUMN menjadi diserahkan ke Danantara,” ungkapnya.
“Kalau kita bicara SWF dari sisi itu, ini kan harus dipertimbangkan juga karena kan APBN itu juga ada pembiayaan rutin, pembangunan, dan sebagainya sehingga kini harus menyesuaikan anggaran untuk mengatasi potensi kekurangan penerimaan. Hal ini bisa berdampak pada alokasi belanja negara,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menilai seharusnya peran Kementerian Keuangan menjadi sangat penting sebagai pengelola utama keuangan negara. Kementerian ini harus memastikan bahwa perubahan kebijakan tidak menyebabkan ketidakseimbangan dalam APBN. Jika tidak dilakukan penyesuaian, maka akan terjadi defisit atau shortfall yang berpotensi mengganggu stabilitas keuangan negara.
Selly menambahkan memang seharusnya SWF ini memiliki keuntungan dalam menciptakan diversifikasi ekonomi dan menjaga stabilitas perekonomian. Akan tetapi, pengelolaan sumber dana dan tata kelola yang dilakukan oleh governance yang salah akan menjadi suatu risiko yang besar.