Pertamax Oplosan, Kerugian Konsumen Capai Rp25 Triliun Setahun

Ilustrasi - SPBU Pertamina. (Dok. Pertamina)
FAKTA.COM, Jakarta – Center of Economic and Law Studies (CELIOS) terus menghitung dampak kerugian ekonomi dari adanya praktik pengoplosan BBM RON 92 yang diduga dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga.
Dalam konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, Jumat (28/2/2025), Peneliti Ekonomi CELIOS, Nailul Huda memaparkan sejumlah potensi kerugian ekonomi apabila PT Pertamina Patra Niaga memang benar-benar melakukan praktik pengoplosan BBM RON 92.
Huda menyampaikan, jika hanya melihat selisih harganya, yakni antara BBM RON 92 (Pertamax) dengan RON 90 (Pertalite), maka terdapat consumer loss yang bisa mencapai Rp17,4 triliun. Adapun angka ini hanya perhitungan kerugian di tahun 2023 saja.
Dengan consumer loss di angka tersebut, Indonesia dapat kehilangan Produk Domestik Bruto (PDB) senilai Rp13,4 triliun.
“PDB hilang akibat dari kerugian konsumen yang ditimbulkan dari kasus korupsi ini,” tutur Huda.
Bahkan, jika memasukkan total kerugian dari kerusakan mesin sebagai variabel perhitungan, Huda memperkirakan angkanya dapat mencapai Rp20-25 triliun.
“Karena kita lihat memang kerusakan-kerusakan yang terjadi kemarin itu, ada beberapa kasus gas pump-nya dia rusak,” ujar Huda.
Kerugian konsumen akibat Pertamax oplosan.
Peneliti Ekonomi CELIOS, Nailul Huda ungkap kerugian konsumen akibat Pertamax oplosan di Kantor LBH Jakarta, Jumat (28/2/2025). (Fakta.com/Muhammad Azka Syafrizal)
Adapun masyarakat yang merasa mengalami kerugian dari adanya tindakan pengoplosan Pertamax tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama dengan CELIOS membuka posko pengaduan.
Sebab, LBH Jakarta melihat besarnya kemarahan masyarakat, maka pihaknya berinisiatif untuk memfasilitasi posko pengaduan untuk nantinya akan diadvokasikan melalui langkah hukum tertentu.
“[Saat ini] 426 pengaduan secara daring yang masuk," ujar Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan dalam konferensi pers di tempat yang sama.
Dalam kesempatan itu, Huda bilang bahwa fasilitas pengaduan yang diinisiasi oleh LBH Jakarta dan CELIOS diharapkan dapat lebih berguna dibandingkan sidak langsung yang dilakukan oleh DPR RI beberapa waktu lalu.
“Kita harapkan ini lebih bermanfaat dibandingkan dengan sidak dadakan DPR kemarin, di mana kasusnya pada 2018-2023 [tetapi] sidaknya 2025. Ini tidak make sense,” tegas Huda.