Efisiensi Anggaran jadi Modal Awal Danantara, Ekonom Khawatirkan Shock Jangka Pendek

Presiden Prabowo Subianto meluncurkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (24/2/2025). (Dok. YouTube Sekretariat Presiden)
FAKTA.COM, Jakarta – Dalam peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), Senin (24/2/2025), Presiden Prabowo Subianto mengungkap asal dana awal dari sovereign wealth fund (SWF) baru itu. Menurut penuturannya, dana tersebut berasal dari realokasi efisiensi anggaran.
Adapun jumlahnya mencapai US$20 miliar atau berada di kisaran Rp300 triliun. Prabowo pun menyampaikan bahwa nantinya, uang hasil efisiensi anggaran tersebut akan dikelola oleh Danantara untuk diinvestasikan di berbagai proyek nasional.
“Dana yang sebelumnya terhambat oleh inefisiensi, korupsi, dan belanja-belanja yang kurang tepat sasaran. Kini, dana tersebut akan dialokasikan untuk dikelola oleh Danantara Indonesia, diinvestasikan dalam dua puluh atau lebih proyek-proyek nasional,” ujar Prabowo.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengungkap, investasi yang akan dilakukan oleh Danantara melalui dana efisiensi anggaran baru akan dirasakan manfaatnya di jangka panjang.
Padahal, masyarakat tengah dalam tekanan daya belinya. Sejatinya, efisiensi anggaran tentu akan mengurangi belanja negara sehingga kata Achmad, perputaran uang di masyarakat akan berkurang. Terlebih, jika realokasi efisiensi anggaran tersebut ternyata untuk investasi yang manfaatnya jangka panjang.
“Akibatnya, konsumsi rumah tangga yang merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi nasional akan mengalami penurunan,” ujar Achmad dalam rilis yang diterima Fakta.com, Selasa (25/2/2025).
Menurutnya, alih-alih diinvestasikan untuk proyek jangka panjang, efisiensi anggaran tersebut perlu direalokasikan untuk belanja yang berdampak langsung bagi masyarakat.
“Jika dana ini disalurkan langsung ke sektor-sektor yang bersinggungan dengan masyarakat, seperti subsidi energi, bantuan sosial, atau insentif usaha kecil dan menengah, dampaknya akan lebih terasa dalam waktu cepat,” tutur Achmad.
Apalagi, investasi yang bersifat jangka panjang pun belum tentu return-nya memuaskan. Bisa jadi, hasil yang didapatkan malah kerugian. Walhasil, Achmad menilai pemerintah perlu lebih cermat dalam mengambil keputusan soal realokasi anggaran tersebut.
“Jika pemerintah terus memaksakan kebijakan ini tanpa mempertimbangkan dampak langsungnya, maka bukan tidak mungkin ekonomi akan mengalami kontraksi yang lebih dalam,” pungkas Achmad.