Danantara: Antara Harapan Energi Hijau dan Komitmen yang Terabaikan

Ilustrasi PLTS. (Dok. Ditjen EBTKE KESDM)
FAKTA.COM, Jakarta – Pemerintah Indonesia terus mengambil langkah strategis dalam pengelolaan energi. Kehadiran Danantara yang siap meluncur pada pekan depan (24/2/2025) dinilai turut berkontribusi dalam mewujudkan ambisi energi berkelanjutan di Indonesia.
Kepala Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa kehadiran Danantara memiliki peran penting dalam mendorong investasi dan pengembangan energi berkelanjutan.
Hal ini disampaikan Luhut dalam acara "Bloomberg Technoz Economic Outlook 2025" di Jakarta, Kamis (20/2/2025). Menurutnya, kerja sama global menjadi fokus utama Danantara.
Salah satu contoh konkretnya, luhut menyebut terkait adanya pertemuan Pemerintah dengan Menteri Energi Uni Emirat Arab (UEA), Suhail Mohamed Al Mazrouei pada
Pada pertemuan ini, ia mengaku mempromosikan potensi energi Indonesia, termasuk pipeline proyek sebesar 72 Gigawatt yang mencakup geothermal, hydropower, wind solar, dan floating solar panel.
Hasil kesepakatan ini, Luhut mengklaim bahwa UEA akan melakukan investasi ke Danantara sebesar US$10 triliun atau Rp162.981 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.298). Jumlah ini setara dengan 45 kali APBN 2025 Indonesia yang ditetapkan sebesar Rp3.621,3 triliun.
“Dan dia [pihak UEA] berkata, oke kita akan GV (Government Venture), kita bisa bergabung 10 Gigawatt. Nilai investasi 10 Gigawatt itu US$10 triliun," jelas Luhut.
Komitmen Energi Berkelanjutan Masih Belum Jelas
Kerja sama internasional antara Indonesia dan UEA soal EBT, Luhut akan memastikan bahwa proyek ini akan dikelola oleh perusahaan profesional dari kedua belah pihak, sehingga menghindari potensi penyalahgunaan atau ketidakefisienan.
Kendati demikian, menurut CEO Think Policy, Andhyta F. Utami, komitmen pemerintah dalam implementasi kebijakan energi dan lingkungan masih perlu diperkuat. Terlebih ketika sudah berada pada ranah kerja sama internasional.
"Ketika kita bahas Paris Agreement, lalu kita bahas NDC (National Determined Contribution), komitmen itu kan unitnya negara,” jelas Andhyta dalam acara “Indonesia Climate Policy Outlook 2025”, di hari yang sama setelah adanya pernyataan Luhut.
Menurutnya Indonesia belum memiliki alat hukum yang dapat menurunkan tanggung jawab ke dalam unit-unit daerah sebagai aktor-aktor di dalam negara.
CEO Think Policy, Andhyta F. Utami.
CEO Think Policy, Andhyta F. Utami dalam acara “Indonesia Climate Policy Outlook 2025” di Jakarta, Kamis (20/2/2025). (Fakta.com/Trian Wibowo)
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya memasukkan target penurunan emisi ke dalam dokumen perencanaan daerah seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJMD) agar kebijakan ini dapat diturunkan ke tingkat daerah.
"Artinya, kita harus punya angka yang kita sepakati bersama, kemudian angka itu harus masuk pula ke dalam RPJMD, supaya kemudian turun ke RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah dengan durasi satu tahun) dan anggaran misalnya di pemerintah daerah," tambahnya.
Andhyta juga menekankan perlunya keseimbangan antara regulasi yang mengikat dan dukungan terhadap sektor swasta agar mereka tidak mengalami first mover disadvantage dalam menerapkan kebijakan energi berkelanjutan.
"Banyak perusahaan yang memiliki target net zero mereka sendiri, dan kita harus terus mendorong hal itu," ujar dia.
Pada saat yang bersamaan, lanjut Andhyta, perusahaan sering merasa mengalami kerugian sebagai pelopor. Dengan memulai lebih dulu, korporat justru menjadi kurang kompetitif dan sebagainya, dan itulah yang harus dikoreksi oleh pemerintah.