Biaya Logistik Tinggi dan Tak Efisien, RI Kalah Cuan Ekspor Ikan dari Thailand

Pekerja memindahkan ikan cakalang hasil tangkapan nelayan dari kapal di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate, Maluku Utara. (ANTARA FOTO/Andri Saputra)
FAKTA.COM, Jakarta – Indonesia meski dikenal sebagai negara dengan kekayaan laut melimpah, masih menghadapi tantangan besar di sektor perikanan, terutama dalam hal hilirisasi produk perikanan.
Direktur Utama PT Perikanan Indonesia, Sigit Muhartono, menyorot ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan Thailand dalam hal ekspor produk olahan ikan.
Salah satu komoditas yang dapat menjadi gambaran ketertinggalan Indonesia dalam produk olahan ikan misalnya pada komoditas tuna.
Berdasarkan data yang dihimpunnya, Indonesia mengekspor produk tuna senilai sekitar US$0,92 miliar per tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 64 persen atau sekitar US$594 juta masih merupakan produk mentah berupa ikan utuh yang dibekukan (whole frozen).
Sigit menuturkan bahwa kondisi ini kalah jauh jika dibandingkan dengan Thailand.
“Thailand itu mengekspor senilai US$2,3 miliar. Nah kalau kita zoom in lagi, yang dijual sama Thailand itu adalah dalam bentuk olahan 92 persen,” ucap Sigit dalam paparannya dalam diskusi Hilirisasi Sektor Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Jumat (14/2/2025).
Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM berulang kali menekankan ada berbagai komoditas yang akan jadi fokus dalam hilirisasi di Indonesia. Salah satunya adalah terkait komoditas di sektor perikanan dan kelautan.
Kementerian yang dipimpin oleh Rosan Roeslani ini, telah menyusun peta jalan hilirisasi yang terdiri dari 28 komoditas unggulan termasuk lima di antaranya merupakan komoditas di sektor perikanan dan kelautan.
Peta Jalan Hilirisasi menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cadangan terbesar di dunia untuk komoditas perikanan TCT (Tuna Cakalang Tongkol), dengan persentase mencapai hampir seperempat dari cadangan dunia, yaitu 21 persen.
Namun, meski memiliki cadangan yang melimpah, Indonesia masih tertinggal dalam ekspor produk hasil perikanan dan kelautan, termasuk juga dalam produk hasil pengolahannya.
Buktinya, jika dibandingkan dengan negara-negara lain dalam hal ekspor produk perikanan, Indonesia tidak terlihat dalam daftar negara dengan nilai ekspor terbesar di sektor ekonomi hasil laut.
Data terbaru dari United Trade and Development (UNCTAD) pada 2019, menunjukkan bahwa Thailand menempati posisi terdepan dalam hal ekspor hasil laut (Ocean Economics).

Eksportir produk perikanan dan kelautan terbesar pada 2019. (Dok. UNCTAD)
Lemahnya proses hilirisasi di sektor perikanan ini berimbas pada daya saing Indonesia dalam pasar global.
Sigit menjelaskan, meskipun Indonesia mengekspor tuna ke berbagai negara seperti AS dan Jepang, sebagian besar ekspor Indonesia yang menuju Thailand pada akhirnya akan mendapatkan nilai tambah di sana, lalu diekspor kembali ke dunia. Dengan demikian, Thailand dapat meraup keuntungan jauh lebih besar.
Lebih lanjut, Sigit menyebutkan tantangan besar yang dihadapi Indonesia, seperti ketidakseimbangan antara lokasi penangkapan ikan dan fasilitas pengolahan ikan.
“sekarang kita lihat yang basic proses saja ya, 77 persen dari ikan kita itu ditangkapnya di luar Pulau Jawa. Semua di wilayah perairan di Barat, di Timur apalagi [lebih banyak]. Sementara, fasilitas unit pengolahan ikan 50 persen itu ada di Jawa,” jelas Sigit.
Kondisi ini menjadi sebab tingginya biaya logistik yang pada gilirannya menggambarkan adanya inefisiensi dalam distribusi.
“Artinya, kalau ikan-ikan itu ditangkap di Arafura (perairan di sebelah selatan kepulauan Aru, Maluku), kita bawa ke Surabaya dulu, kita bawa ke Jakarta dulu, baru diekspor ke internasional. Padahal Bitung (Sulawesi Utara) itu sudah dekat dengan Filipina, Bitung itu sudah langsung bisa ke Hongkong,” tegas sigit memberi gambaran soal inefisiensi pengolahan ikan di Indonesia.
Lebih lanjut, Sigit mengungkapkan bahwa biaya logistik untuk pengiriman ikan dari daerah-daerah seperti Ambon, Maluku dan Sorong, Papua Barat Daya ke Jakarta sangat tinggi, masing-masing mencapai Rp2.200 dan Rp3.200 per kilogram.
Sementara itu, biaya pengiriman dari Jakarta ke Jepang hanya Rp1.700 per kilogram. Menurutnya, hal ini menjadi masalah besar yang menghambat upaya Indonesia dalam mengoptimalkan ekspor perikanan.
Dengan adanya potensi hilirisasi yang besar, harapannya akan ada langkah-langkah konkrit untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan di Indonesia.
"Jika hilirisasi dapat dilakukan dengan baik, kita bisa mendapatkan potensi tambahan hampir US$1,2 miliar, yang seharusnya bisa dinikmati di dalam negeri," tutup Sigit.