MBG untuk Semua Kalangan, Rp50,7 Triliun Subsidi Salah Sasaran

Presiden Prabowo Subianto sidak dapur umum Makan Bergizi Gratis (MBG) di Rawamangun, Jakarta Timur, pada Senin (3/2/2025). (ANTARA/HO-Tim Media Presiden Prabowo Subianto)
FAKTA.COM, Jakarta – Presiden RI, Prabowo Subianto menginstruksikan pemangkasan anggaran pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2025 sebesar Rp306,69 triliun.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD tahun anggaran 2025. Instruksi presiden itu semakin dipertegas dengan Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025.
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) melihat upaya ini sebagai langkah positif jika efisiensi ini bertujuan untuk memperbaiki struktur fiskal melalui pengalokasian pada sektor-sektor strategis. Namun jika pendistribusian bukan pada sektor-sektor produktif ini akan mengkhawatirkan.
“Jika pemangkasan anggaran ini tidak didistribusikan untuk sektor-sektor produktif maka yang akan terjadi adalah bencana baru bagi Indonesia,” ungkap peneliti CELIOS, Bakhrul Fikri dalam webinar Rilis Laporan dan Diskusi Publik bertajuk “Pak Presiden Kami Punya Ide Lain, Pemangkasan Anggaran Untuk Keadilan Fiskal dan Kesejahteraan Rakyat”, Senin (10/2/2025).
Dalam paparannya, Bakhrul mengkhawatirkan bahwa alokasi anggaran hasil pemangkasan ini hanya digelontorkan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Kalau pemerintah memangkas anggaran sebesar Rp306,7 triliun hanya untuk kepentingan MBG, maka akan ada subsidi yang tidak tepat sasaran berkisar Rp50,75 triliun,” jelas Bakhrul.
Lebih lanjut, ia menilai kebocoran fiskal ini berkaitan dengan skema distribusi MBG yang saat ini masih bersifat universal coverage, yakni untuk semua kalangan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi individu.
Dalam ruang daring yang sama, Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, memperkuat pandangan tersebut dengan merujuk pada studi sebelumnya. Studi ini menyatakan bahwa masyarakat kelas atas cenderung tidak membutuhkan program MBG.
“Masyarakat kaya itu juga bilang di studi saya, bahwa mereka enggak perlu MBG, mereka lebih memilih MBG ini disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan,” jelasnya.
Jika sekadar mengacu data UNICEF tentang negara-negara yang menerapkan MBG untuk semua kalangan, Media menilai bahwa kebijakan ini tidak tepat diterapkan di Indonesia.
“Ini tidak tepat, karena masing-masing negara memiliki konteks kemampuan fiskalnya yang berbeda,” tegas Media.
Meskipun MBG dirancang dengan niat baik untuk mencakup seluruh anak, Media menganggap alokasi anggaran yang begitu besar hanya untuk satu program dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam distribusi sumber daya negara.
Celios menyimpulkan bahwa program MBG dengan skema universal coverage akan mengarah pada pemborosan fiskal yang masif, terlebih fakta bahwa sebagian masyarakat kaya merasa tidak membutuhkan program ini.
“Ada mistargeting yang luar biasa masif apabila MBG ini diterapkan untuk semua anak. Jika kita menyalurkannya lebih tepat sasaran, kita bisa memperoleh ruang fiskal yang lebih besar dari hasil pemangkasan anggaran ini,” tegas Media.
Memperkuat hal ini, Bakhrul memaparkan proyeksi untuk skema targeted approach yang lebih efisien dalam penghematan anggaran, bahkan dengan nilai yang hampir seperempat dari proyeksi saat ini.
“Dengan skema targeted approach, kita hanya membutuhkan anggaran per tahun sebesar Rp117,93 triliun untuk membiayai MBG. Skema ini jauh lebih efisien dibandingkan dengan skema pemerintah yang menghabiskan anggaran hingga Rp400 triliun,” ungkap Bakhrul.
Bahrul menambahkan, jika skema targeted approach diterima oleh pemerintah, efisiensi anggaran dalam Instruksi Presiden No. 1/2025 akan menghasilkan surplus sebesar Rp259,76 triliun.
“Jika pemerintah menggunakan targeted approach dari CELIOS, sebenarnya pemerintah hanya membutuhkan anggaran sebesar Rp46,93 triliun. Tetapi, jika sudah diterapkan, pemerintah tetap akan mendapatkan surplus dana sebesar Rp259,76 triliun,” tambahnya.
Beberapa Rekomendasi Belanja dari Hasil Penghematan
Melihat potensi penghematan yang dapat dilakukan dengan skema targeted approach, CELIOS menekankan bahwa surplus dana ini dapat dialokasikan untuk sejumlah belanja yang dapat mendorong daya beli masyarakat.
“Telah terjadi perlambatan daya beli masyarakat yang signifikan. Kita tahu pertumbuhan ekonomi di akhir 2024 juga mengalami penurunan yang cukup tajam, bahkan sebanding dengan dampak pandemi Covid-19. Artinya, daya beli masyarakat benar-benar terpuruk,” ujar Bakhrul.
Beberapa alokasi yang disarankan termasuk menambah jumlah penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 10,16 juta KPM (Keluarga Penerima Manfaat) dengan bantuan sebesar Rp2,98 juta per KPM.
Selain itu, perlu alokasi anggaran untuk menambah jumlah penerima manfaat Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebanyak 1,38 juta pekerja dengan bantuan sebesar Rp300 ribu per bulan selama setahun.
Dua program lainnya yang juga mendapat perhatian lebih adalah terkait Subsidi KRL dan Tunjangan Dosen. Selain itu, ada beberapa program lainnya yang tak lepas dari estimasi alokasi anggaran.