GAPKI Dukung Ekstensifikasi Lahan Sawit Untuk Penuhi Target B50

Pekerja migran asal Lombok memikul sawit di Selangor, Malaysia, Senin (9/12/2024). (ANTARA/Sugiharto Purnama/am)
FAKTA.COM, Jakarta – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengungkapkan bahwa industri sawit memiliki peran besar dalam ekonomi nasional dan tidak boleh dilihat sebagai penyebab utama deforestasi. GAPKI mengungkapkan dalam mendukung target pemerintah, yaitu penerapan penggunaan bahan bakar nabati program mandatori B50, ekstensifikasi lahan sawit perlu dilakukan.
Kebijakan terkait implementasi B40 dan target B50 pada 2026 ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan, energi, dan air, serta mendukung program biodiesel domestik yang semakin ditingkatkan.
Ketua Bidang Kampanye Positif GAPKI, Edi Suhardi, menjelaskan bahwa GAPKI akan berkomitmen untuk mengikuti regulasi pemerintah dan menerapkan standar keberlanjutan, seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
“Jadi kami ini sifatnya adalah manut, kita ini tut wuri handayani apapun kebijakan pemerintah, standar yang diperkenalkan pemerintah, GAPKI ini posisinya adalah pada mendorong anggota-anggotanya untuk taat dan patuh terhadap aturan standar dari pemerintah,” ungkapnya dalam “Diskusi Publik & Media Briefing Tantangan Tata Kelola Sawit di Tengah Ambisi Pembukaan 20 Juta Hektare Hutan” di Jakarta, Rabu (5/2/2025).
Pemerintah terus mendorong penggunaan bahan bakar nabati melalui program mandatori B40 dan target B50. Namun, kebijakan ini menghadapi tantangan besar terkait kesediaan bahan baku. Edi mengatakan untuk memenuhi kebutuhan produksi program tersebut diperlukannya ekstensifikasi lahan sawit.
Edi mengungkapkan ekspor sawit saat ini saja sudah terganggu dalam memenuhi program B40. Maka dari itu, total pasokan sawit tidak akan cukup untuk memenuhi pasokan dalam mencapai target program B50.
“Terkait dengan B50, saya melihat bahwa B40 ini akan mengganggu juga ekspor kita. Karena produksi sawit Indonesia ini sudah stagnan di angka kisaran 50 juta ton per tahun, sehingga bila mana dinaikkan jadi B50 mau tidak mau, hanya bisa dilakukan dengan ekstensifikasi,” ungkapnya.
Edi mengatakan bahwa selama ini peningkatan produksi sawit lebih banyak dilakukan melalui intensifikasi, yakni dengan meningkatkan produktivitas di lahan yang sudah ada. Dalam meningkatkan pertumbuhan produksi sawit dengan menggunakan metode intensifikasi tersebut perlu membutuhkan waktu dan tidak bisa berlangsung cepat.
“Selama ini kita bicara tentang intensifikasi, kenaikan deal itu tidak mudah, perlu waktu 5-10 tahun baru bisa. Karena sawit itu kan tidak seperti padi atau jagung yang bisa seumur beberapa bulan berubah,” ungkapnya.
Edi menegaskan jika memang pemerintah serius akan target B100, mau tidak mau harus melakukan ekstensifikasi untuk memproduksi sampai 100 juta ton per tahun pada tahun 2045.