Pertumbuhan Semakin Lamban, Sektor Tambang Penuh Tekanan

Lokasi tambang emas ilegal yang diduga dikelola TKA China di kawasan IUP PT Indotan di Sekotong, Lombok Barat, NTB, Jumat (4/10/2024). (ANTARA/HO-KPK)
FAKTA.COM, Jakarta – Sepanjang tahun lalu, sektor pertambangan dan penggalian mendapatkan tekanan. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator.
Hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2024. Sepanjang tahun itu, Indonesia catatkan pertumbuhan ekonomi 5,03 persen. Angka ini lebih lambat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 5,05 persen.
Bukan hanya itu saja, beberapa sektor tercatat mengalami perlambatan. Salah satunya adalah sektor pertambangan dan penggalian. Bahkan, sektor ini tumbuh di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Berdasarkan laporan BPS, sektor ini hanya tumbuh 4,9 persen yoy saja, lebih rendah dengan pertumbuhan tahun sebelumnya, yakni 6,12 persen yoy. Di samping itu, share sektor pertambangan dan penggalian juga mengalami perlambatan.
Data menunjukkan, tahun lalu share sektor pertambangan dan penggalian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya sebesar 9,15 persen saja. Ini lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang dicatatkan di angka 10,52 persen.
Indikator lain yang menunjukkan perlambatan sektor pertambangan dan penggalian adalah realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kembali melanjutkan tren penurunannya sejak dua tahun terakhir.
Terkait tren tersebut, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia memberikan penjelasan. Hal tersebut disampaikannya dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (3/2/2025).
“Ini terjadi penurunan [PNBP] di sektor mineral batubara, kenapa menurun? Karena harga global lagi turun,” ujar Bahlil.
Selain itu, data dari rendahnya penerimaan PPh sepanjang tahun tersebut juga menjadi indikator tekanan pada sektor tambang. Hal tersebut diungkap oleh Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu dalam konferensi pers di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (6/1/2025).
“PPh badan memang masih terkontraksi cukup signifikan. Ini karena turunnya profitabilitas di sektor pertambangan, khususnya batubara, nikel, dan kelapa sawit yang terpengaruh volatilitas di dalam harga commodity,” ujar Anggito.
Sesuai dengan pernyataan Bahlil dan Anggito, jika melihat perkembangan harga beberapa komoditas tambang, data memang menunjukkan adanya kontraksi yang signifikan. Maka, tidak heran jika BPS melaporkan pertumbuhan sektor ini, cenderung melambat.