Gaji Pekerja Asing Sektor Hilirisasi Capai 10 Kali Lipat Pekerja Lokal

Kepulan asap dari pembakaran nikel di kawasan industri PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, sebagai bagian dari smelter nikel. (ANTARA FOTO/Jojon/Spt)
FAKTA.COM, Jakarta – Pengamat Ekonomi The Reform Initiative, Wildan Syafitri menyatakan, tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja di sektor hilirisasi mineral di Indonesia mendapat gaji 7-10 kali lipat lebih tinggi dari pekerja lokal di lokasi yang sama. Pihaknya telah melakukan riset di Batam, Kepulauan Riau (Kepri) dan Konawe, Sulawesi Tenggara.
"Kalau kita bandingkan itu upahnya rata-rata sekitar tujuh kali, saya pernah menghitung itu hampir sepuluh kali lipat," ujar Wildan dalam "Diskusi Hasil Riset Tantangan dan Implikasi Hilirisasi Mineral Indonesia" di Jakarta pada Senin (3/2/2025).
Alasan kesenjangan pendapatan antara pekerja lokal dan asing tersebut karena perbedaan tingkat pendidikan di masyarakat. Ini membuat pekerja lokal masih sedikit yang bisa menempati posisi manajerial.
"Saya kira kalau di Batam ini tenaga kerja lokal di posisi manajerial itu sudah cukup banyak, tapi di Konawe itu masih kecil karena memang disebabkan tingkat pendidikan yang masih rendah," imbuhnya.
Meski adanya ketimpangan penghasilan, sebut Wildan, sektor hilirisasi membawa dampak besar terhadap pemajuan ekonomi di daerah. Seperti halnya di Batam dan Konawe yang bisa mempunyai pertumbuhan ekonomi hingga 22 persen.
"Artinya dia [hilirisasi] bisa menjadi ujung tombak, jangan sampai ini tentu saja ada yang dikorbankan. Ini ujung tombak tapi yang dikorbankan adalah pekerja lokal," ujar Wildan.
Hilirisasi memang tengah menjadi ambisi besar pemerintahan Prabowo sebagai salah satu alat penggenjot pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Sekretaris Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, Ahmad Erani, menegaskan bahwa meski hilirisasi memiliki dampak positif pada perekonomian. Namun dia tak menampik bahwa momentum ini juga berpotensi menimbulkan ketimpangan yang semakin lebar di Indonesia.
"Kita harus hati-hati dengan munculnya potensi ketimpangan dari hilirisasi ini. Dari berbagai macam level, ketimpangan antara investasi asing dengan investasi dalam negeri, ketimpangan antara pengusaha besar yang padat teknologi dan padat modal dengan usaha kecil dan usaha menengah," ujar Ahmad.
Menurutnya saat ini belum ada temuan konkret mengenai tingkat ketimpangan di suatu wilayah sebelum dan setelah hilirisasi.
Ahmad pun memberikan pandangan serupa, bahwa persoalan utama dalam hilirisasi adalah keberhasilan transfer teknologi kepada tenaga kerja lokal, yang hingga saat ini belum berjalan secara optimal. Dia menilai perlu adanya pendalaman terkait aspek keberlanjutan hilirisasi, terutama dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) lokal.
"Selama ini yang terjadi, kita fokusnya hanya kepada hilirisasi, mendirikan pabrik-pabrik atau membangun proyek-proyek. Tapi lupa pada saat yang bersamaan seharusnya segera dilakukan investasi peningkatan sumber daya manusia ini," jelas Ahmad.
Ia menambahkan bahwa hilirisasi bukanlah hanya soal pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Aktivitas hilirisasi harus dilihat sebagai investasi jangka panjang. Sebab tidak mungkin aktivitas industri ini hanya berlangsung misalnya 30-40 tahun saja dan kemudian berhenti. Oleh karena itu diperlukan semacam set of infrastructure.