Indonesia Bisa Cuan Hingga 71 Kali Lipat lewat Hilirisasi Tembaga

Direktur Eksekutif INDEF, Esther Tri Astuti & Wakil Kepala PEBS FEB UI, Nur Kholis dalam diskusi hilirisasi di Jakarta, Senin (3/2/2025). (Fakta.com/Trian Wibowo)
FAKTA.COM, Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan bahwa Indonesia berpotensi meraih nilai tambah yang luar biasa besar melalui hilirisasi tembaga. Nilai tambah ini diperkirakan mencapai 71 kali lipat jika komoditas tembaga tidak diekspor dalam bentuk mineral mentah.
Dalam studi terbarunya, Direktur Eksekutif INDEF, Esther Tri Astuti telah menghitung bahwa bijih tembaga yang diolah menjadi konsentrat (produk olahan awal) hanya akan memberikan nilai tambah sebanyak dua kali lipat.
Sementara itu, pengolahan lebih lanjut hingga menjadi katoda, tembaga dapat meningkatkan nilai tambah menjadi 3,9 kali.
Hal yang lebih menarik lagi, apabila bijih tembaga diproses menjadi produk akhir berupa kabel listrik, nilai tambahnya bisa mencapai angka fantastis, yakni 71 kali lipat.
Esther juga menekankan bahwa hilirisasi tembaga tidak hanya berfokus pada nilai ekspor, tetapi juga dapat mendorong aspek sosial dan ekonomi yang lebih luas.
“Dengan adanya hilirisasi industri tembaga ini, kita bisa mendapatkan potensi melalui ekspor yang berkali kali lipat, jadi tidak hanya dari ekspornya tetapi dari Investasinya, dari penciptaan lapangan pekerjaannya, dan juga dari GDP (Produk Domestik Bruto),” ungkap Esther dalam ‘Diskusi Hasil Riset: Tantangan dan Implikasi Hilirisasi Mineral Indonesia’ di Jakarta pada Senin (3/2/2025).
Melalui hilirisasi tembaga, diperkirakan nilai investasi yang dapat dihasilkan mencapai US$38 juta, dengan potensi penyerapan tenaga kerja sekitar 253 ribu orang. Tak hanya itu, hilirisasi ini diproyeksikan akan memberikan kontribusi sebesar US$34,9 juta terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
“Adapun nilai ekspornya itu sekitar US$282 juta,” imbuhnya.
Selain PDB secara umum, hilirisasi tembaga juga diyakini akan mendorong perkembangan sektor industri pengolahan di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah yang menjadi pusat hilirisasi.
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (PEBS FEB UI), Nur Kholis, menyampaikan bahwa PDB sektor industri pengolahan di daerah hilirisasi tembaga menunjukkan pertumbuhan yang positif.
“industri pengolahan tumbuh positif dan cukup tinggi, terutama di daerah Jawa Timur, kemudian Nusa Tenggara Barat (NTB), dan juga Kepulauan Riau. Jadi sesuai dengan perkembangan program hilirisasi, yaitu tembaga,” imbuhnya.
Data menunjukkan bahwa nilai tambah sektor industri pengolahan yang terkait hilirisasi tembaga terus mengalami peningkatan hingga 2023, khususnya di wilayah-wilayah yang menjadi pusat industri hilirisasi komoditas ini.
Tak hanya itu, Nur Kholis juga menambahkan bahwa hilirisasi tembaga turut berperan dalam penurunan tingkat kemiskinan di wilayah-wilayah yang terlibat dalam proses hilirisasi.
“Beberapa indikator yang cukup baik selain pertumbuhan ekonomi, itu adalah penurunan jumlah penduduk miskin dan juga tingkat kemiskinan,” tuturnya.
Indonesia Punya Banyak Cadangan Tembaga
Indonesia memegang posisi strategis di pasar tembaga global dengan menguasai sekitar tiga persen dari cadangan tembaga dunia, setara dengan 24.000 ton.
Dengan posisi ini, tembaga menjadi komoditas prioritas ketiga Indonesia setelah nikel dan timah. Jika dibandingkan dengan negara-negara penghasil tembaga lainnya, Indonesia menempati urutan ke-10 dengan cadangan tembaga terbanyak di dunia.
Pada 2023, Indonesia tercatat sebagai produsen tembaga terbesar ketujuh di dunia dan yang terbesar di Asia Tenggara, dengan pencapaian produksi mencapai 840.000 ton. Pencapaian ini semakin memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam industri tembaga global.
Esther menganggap bahwa dengan kondisi ini, Indonesia sudah memiliki modal besar untuk menangkap peluang sebagai pemain utama produk olahan tembaga.
“Dengan tiga persen dari cadangan tembaga yang ada di dunia ini dimiliki oleh Indonesia, makanya kita punya peluang untuk menjadi eksportir produk-produk derivatif,” tuturnya.
Tren Peningkatan Permintaan Produk Turunan Tembaga
Di sisi lain, ada tren positif dalam permintaan produk turunan tembaga. Ini mencerminkan pergeseran menuju produk dengan nilai tambah lebih tinggi.
Produk seperti kawat tembaga (CU wire) dan kawat elektrik (electric wire) menunjukkan peningkatan yang signifikan pada rentang 2019 hingga 2023. Jumlah permintaan CU wire meningkat dari 1.900 ribu ton menjadi 2.100 ribu ton, sementara electric wire naik dari 563 ribu ton menjadi 754 ribu ton.
Esther melihat kondisi ini, menambah keyakinannya bahwa Indonesia akan jadi pemain besar di pasar global, bukan hanya berdasarkan cadangan tembaga yang dimiliki, tetapi juga dari tren permintaan yang semakin berkembang.
Menurutnya, tren tersebut mencerminkan pergeseran menuju produk-produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi, terutama yang mendukung elektrifikasi global dan perkembangan industri teknologi.
“Nah ini adalah tanda ya, bagi keberhasilan awal, sehingga ke depannya kalau bisa ini terus meningkat,” imbuh Esther.