Pemerintah Tak Punya Ruang Bebas untuk Utang: DSR Tinggi, Rasio Pajak Lemah
Ilustrasi - Gedung Kementerian Keuangan RI. (Dok. Kemenkeu)
FAKTA.COM, Jakarta – Rasio pajak (tax ratio) yang terus menurun menjadi salah satu penyebab utama defisit fiskal yang dialami Indonesia. Sebagai solusi, pemerintah memilih untuk mengandalkan utang guna menutupi kekurangan tersebut.
Namun, ketergantungan pada utang ini membawa dampak serius pada kesehatan fiskal negara. Indonesia kini dihadapkan pada isu utama terkait utang pemerintah, dengan Debt Service Ratio (DSR) atau Rasio Utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang berada di level 32,9%. Angka ini termasuk tinggi dan sudah melampaui ambang batas aman.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto mengungkapkan bahwa threshold yang dianggap aman berkisar antara 25% hingga 30%.
“ini angka teman-teman di BI (Bank Indonesia). Kita sering diskusi internal dan ini threshold yang mereka selalu pakai selama ini,” ucapnya dalam “Diskusi Publik Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo Bidang Ekonomi” di Jakarta pada Rabu, (22/1/2025).
Upaya untuk mendongkrak rasio pajak, seperti rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang kemudian dibatalkan, menjadi tantangan besar bagi pemerintah.
“Nah kita memang menghadapi kendala, tax ratio yang turun terus-menerus. Pada 2024, tax ratio kita merupakan yang terendah dibanding negara-negara tetangga. Apalagi PPN naik kemarin dibatalkan, merupakan tantangan yang luar biasa,” tegas Wijayanto.
Wijayanto menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia masih memiliki kapasitas untuk berutang. Namun, saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, kapasitas tersebut sudah sangat terbatas.
"Kita lihat Debt Service Ratio yang diperkirakan mencapai 45% pada 2025 dan 40% pada 2026. Angka ini jauh melampaui ambang batas aman yang umumnya berada di kisaran 25-30%," ungkap dia.
Menurutnya, tingginya DSR saat ini telah mencapai titik kritis, yang menandakan adanya potensi risiko bagi perekonomian Indonesia. Hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan investor untuk membeli surat utang negara, yang pada gilirannya berisiko meningkatkan biaya pinjaman negara.
“Ini sebenarnya sudah lampu kuning, investor akan melihat surat utang kita adalah produk investasi yang berisiko. Mereka mengharapkan bunga lebih tinggi dan ada kalanya akan berpikir enough is enough,” imbuh Wijayanto.
Masalah lainnya, kata Wijayanto, adalah struktur utang Indonesia yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data terbaru kuartal ketiga 2024, hampir 90% utang Indonesia terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN), sementara hanya 10% yang berupa pinjaman (loan). SBN, menurutnya, lebih mudah diterbitkan karena tidak memerlukan proposal atau lobi seperti halnya pinjaman.
"SBN itu gampang, tinggal naikkan suku bunga supaya laku. Buktinya dalam sepuluh tahun terakhir, utang kita melejit, sedangkan dominasi SBN semakin kentara," ujarnya.
Lebih lanjut, Wijayanto mengungkapkan kekhawatiran terkait komposisi asing dalam kepemilikan SBN dan SRBI (Sertifikat Bank Indonesia), yang sudah cukup besar. Ia menyoroti fenomena crowding out, di mana bank lebih memilih membeli SBN dan SRBI dengan bunga tinggi daripada menyalurkan kredit ke sektor riil.
“Banyak teman-teman saya yang tadinya investor di pasar modal, kemudian melihat alternatif ini, zero risk, bunganya tinggi, dan ada insentif pajak, mereka beralih dari pasar modal/reksadana ke SBN dan SRBI. Nah, ini perkembangan yang sangat mengkhawatirkan,” ungkapnya.
Meski demikian, ia menilai nilai tukar Rupiah dalam kondisi yang masih aman, dengan kenaikan sekitar 4-5% per tahun. Namun, Wijayanto mengingatkan bahwa backbone yang membuat nilai tukar Rupiah berada di titik ini, dianggap tidak sustainable.
“Faktor pendukung yang pertama adalah komoditi. Tapi, harga komoditi yang bagus bisa turun dalam waktu dekat. Faktor yang kedua adalah masih regulernya aliran dana masuk dari investor karena mereka membeli SBN dan SRBI,” imbuhnya.
Perihal kondisi Tax Ratio Indonesia yang masih lemah ditambah kondisi DSR yang masih cukup tinggi, Guru Besar Departemen Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Mudrajat Kuncoro kepada Fakta.com belum lama ini, mengungkapkan sejumlah optimalisasi penerimaan negara selain dari utang. Salah satunya adalah dengan meningkatkan basis pajak yang selama ini masih rendah.
“Tax ratio kita rendah, hanya sekitar 10-12% sementara negara lain di atas 15%. Jumlah yang punya NPWP dibandingkan total masyarakat hanya sekitar 32 juta, dan yang bayar pajak enggak lebih separuhnya. Kuncinya adalah perbanyak basis pajak dan harus terus didorong,” ujar Mudrajat.

Perbandingan rasio pajak Indonesia dengan negara-negara di Asia-Pacifik. (Dok. OECD)
Mudrajad menilai hal yang menjadi sebab tax ratio ini masih lemah adalah mekanisme tax refund yang belum berjalan maksimal. “Kalau di Australia, tax refund mereka sangat baik. Kita harus belajar dari itu,” ungkapnya.
Selain itu, masalah kebocoran pajak juga menjadi sorotan. Mudrajat menekankan pentingnya meningkatkan pengawasan dari petugas pajak untuk mengurangi tax evasion (penggelapan pajak) yang selama ini mengurangi potensi penerimaan pajak negara.
Sebagai penekanan ia mengamati atas ironi yang terjadi, dimana penerimaan pajak tidak tercapai sementara di sisi lain, petugas pajak yang seharusnya mendukung peningkatan pajak malah menikmati keuntungan besar.
"Penerimaan pajak tidak tercapai, tapi yang kaya malah petugas pajaknya," pungkasnya.