Prabowo Mau Setop Impor Garam Konsumsi, Pengamat: Waspada La Nina

Dokumen produksi garam di salah satu tambak garam di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. (ANTARA/ HO-DKP Pamekasan)
FAKTA.COM, Jakarta – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah memutuskan akan menyetop impor garam untuk konsumsi pada 2025 dalam rangka mencapai swasembada pangan.
Research Associate Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Dwi Andreas Santosa, mengungkapkan bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam menerbitkan kebijakan penyetopan impor garam ini karena akan adanya potensi penurunan produksi garam imbas fenomena La Nina yang diperkirakan terjadi di tahun ini.
Sebagai informasi, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah memutuskan akan menyetop impor garam untuk konsumsi pada 2025 dengan fokus peningkatan produksi dalam negeri mencapai swasembada pangan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertanggung jawab dalam memastikan produksi garam industri memenuhi kebutuhan nasional tanpa bergantung pada impor.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menjelaskan kebijakan ini mengacu pada Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional.
Andreas menjelaskan, setiap terjadi fenomena La Nina, kegiatan produksi garam mengalami penurunan. Hal tersebut sejalan juga dengan data United States Department of Agriculture (USDA) terkait La Nina yang dimulai pada Januari 2025.
“Di setiap La Nina terjadi, produksi garam nasional pasti akan mengalami penurunan sesuai dengan kajian data yang dilakukan 20-30 tahun terakhir. Di sisi lain, pemerintah merencanakan kebijakan pelarangan impor garam, justru ini akan menjadi masalah besar,” ungkapnya dalam "Forum Diskusi: Outlook Ekonomi Sektoral 2025" di Jakarta, Selasa (21/1/2025).
Kebijakan setop impor pangan yang berdasar pada data produksi dalam negeri yang tidak sesuai di lapangan akan menjadi masalah, sama seperti kejadian di tahun-tahun sebelumnya.
“Pada 2016 pemerintah tiba-tiba menyetop impor jagung sebanyak 2,2 juta ton, dengan berbasis data yang amburadul karena dinyatakan produksi jagung naik 4 juta ton. Ternyata, terjadi collapse antara industri pangan karena mengganti jagung dengan bibit yang celakanya harganya lebih mahal, yaitu gandum,” ungkapnya.
Andreas juga mengatakan pihaknya telah menyuarakan kepada pemerintah terkait rawannya penyetopan impor garam ini bahwa pemerintah jangan terus berlandaskan pada semangat swasembada pangan saja tetapi juga melihat rasionalitas dari fakta yang ada.
“Saya juga sudah pernah terlibat di zaman Jokowi sebelumnya dalam menyusun konsep pembangunan pertanian 2015-2019. Jadi, saya punya pengalaman dan jaringan di sana, bahwa pemerintah kadang-kadang melupakan rasionalitas ketika merancang suatu kebijakan. Jadi hanya berdasarkan semangat, jadi kalau hanya semangat saja, ya selesai sudahlah,” tegasnya.