Implikasi Ekonomi RI dalam Hegemoni Kepemimpinan Trump

Donald Trump dan Xi Jinping. (Ist)
FAKTA.COM, Jakarta – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump resmi dilantik, Senin (20/1/2025) waktu setempat. Dalam pidato pelantikannya, Trump sempat menyinggung soal potensi pengenaan tarif dagang. Hal tersebut mendapatkan berbagai respons oleh pasar.
Dalam pidatonya, Trump memberi sinyal bahwa belum akan mengenakan tarif dagang baru, terutama kepada produk Tiongkok. Hal ini berimplikasi pada pelemahan Indeks Dollar (DXY).
“Indeks Dollar (DXY) melemah sebagai reaksi atas pidato pelantikan Donald Trump kemarin (20/1) dan ditutup pada 108,1, yang merupakan level terendah sejak akhir Desember 2024 lalu,” ujar Ekonom Mirae Asset Sekuritas, Rully Wisnubroto dalam Mirae Asset Market Commentary, Selasa (21/1/2025).
Dampak Terhadap Keseimbangan Rupiah
Di tengah pelemahan Indeks Dollar, data menunjukkan bahwa tidak ada pergerakan signifikan dari nilai kurs Rupiah, kendati nilainya sedikit membaik. Per Senin (20/1/2025), Rupiah ditutup di angka Rp 16.372, sedikit meningkat dari penutupan hari sebelumnya, yakni Rp 16.373.
Menanggapi hal ini, Pengamat Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan bahwa perang dagang pasti akan terjadi. Walhasil, penguatan Rupiah saat ini hanya bersifat jangka pendek.
Trump baru akan menabuh genderang perang dagang di awal Februari. Dimulai dengan pengenaan tarif impor sebesar 25 persen kepada Meksiko dan Kanada. Kata Ibrahim, setelah hal tersebut dilakukan, Eropa dan Tiongkok adalah sasaran selanjutnya.
“Ini masih ada waktu dua minggu bahwa kondisi Rupiah ini masih akan sedikit lebih stabil,” ujar Ibrahim kepada Fakta.com, Selasa (21/1/2025).
Ibrahim kembali menegaskan, meskipun pelantikan Trump dihadiri oleh sejumlah pejabat Tiongkok, hal itu tidak akan melunakkan Trump. Walhasil, perang dagang AS-Tiongkok tidak dapat terhindari.
Bahkan, Ibrahim bilang, di jangka panjang sulit bagi Rupiah bisa mencapai level di bawah Rp16.000 kembali. Meskipun Rupiah menguat di jangka panjang, penguatannya sangat tipis.
Penyesuaian Strategi Dagang dan Penguatan Ekspor
Ibrahim melanjutkan, apabila Tiongkok dikenakan tarif dagang yang lebih tinggi, maka produknya harus mencari pasar lain, yakni negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.
Pemerintah perlu menyiasati hal tersebut, terlebih produk Tiongkok cenderung jauh lebih murah sehingga secara daya kompetisi, pengusaha lokal, terutama UMKM akan kalah.
“Ya karena barang-barang dari Tiongkok yang begitu murah, baju dan celana masa harga Rp50.000 sudah bisa kepakai,” tutur Ibrahim
Dihubungi terpisah, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Aswin Rivai juga mengungkap hal yang sama. Menurutnya, Indonesia perlu menyesuaikan strategi dagang menghadapi tantangan kebijakan tarif Trump. Terlebih, Indonesia akan bersaing dengan negara lain yang terkena imbas kebijakan tarif Trump untuk mencari pangsa ekspor.
“Untuk itu solusinya adalah percepat proses hilirisasi dan penambahan value added produk ekspor kita,” kata Aswin.
Kinerja ekspor RI di tengah tantangan tersebut sangat bergantung pada strategi pemerintah dalam penguatan nilai tambah produk ekspor, diversifikasi pasar ekspor, perluasan dan penguatan perjanjian dagang dengan negara tujuan ekspor serta penguatan daya saing produk manufaktur. Terlebih, sektor manufaktur Indonesia masih belum optimal.
Aswin juga bilang, pemerintah perlu mendorong peningkatan kerja sama perdagangan bebas yang berbasis investasi pada infrastruktur ekspor.
“Hal tersebut berupa perbaikan pelabuhan, logistik, dan rantai pasok untuk mempercepat pengiriman barang ke pasar global,” jelas Aswin.
Peluang Investasi Baru, Imbas Relokasi Pabrik Tiongkok
Di tengah tantangan tersebut, Indonesia juga berpeluang untuk menarik investasi baru. Terlebih, Tiongkok yang akan dikenakan hambatan tarif tentu akan berupaya merelokasi pabriknya.
Hal tersebut juga diamini oleh Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza dalam keterangan pers yang dirilis, Sabtu (18/1/2025). Menurutnya, Indonesia memiliki stabilitas ekonomi, serta lokasi yang strategis untuk tujuan investasi atau relokasi pabrik. Jika demikian, ada potensi peningkatan Penanaman Modal Asing (PMA) dari Tiongkok ke Tanah Air.
“Ada beberapa sektor yang memiliki niat untuk relokasi. Oleh karena itu, persiapan dari masing-masing kawasan industri menjadi sangat penting. Selain elektronik, ada juga tekstil, alas kaki, dan otomotif yang rupanya melihat bahwa semakin sulit peluang untuk ekspor dari RRT langsung ke AS," ujar Faisol.