Tumbuh Konsisten Lima Persen Tak Cukup, Ekonomi RI Perlu Peningkatan Nilai Tambah

Ilustrasi- Pertumbuhan Ekonomi. (Dok. Kemenkeu)
FAKTA.COM, Jakarta – Di tengah tantangan global, terlebih dalam membidik target pertumbuhan ekonomi delapan persen, Indonesia perlu meningkatkan nilai tambah. Meski begitu, upaya tersebut juga perlu paralel dengan menjaga keberlanjutan lingkungan. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Mari Elka Pangestu dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (17/1/2025).
Menurut Mari, Indonesia perlu beradaptasi terhadap ketidakpastian global. Dengan begitu, pemberdayaan industri domestik dan komunitas menjadi faktor penting. Dalam hal ini, Mari menuturkan bahwa pemerintah tengah mengupayakan langkah restrukturisasi ekonomi.
“Salah satu strategi utama adalah restrukturisasi ekonomi, yaitu beralih dari ketergantungan pada bahan mentah ke industri bernilai tambah tinggi,” ujar Mari.

Ilustrasi - Peningkatan bahan mentah di Indonesia. (Dok. DEN/Trademap)
Rendahnya nilai tambah produk Tanah Air, disebut sejumlah ekonom membuat output perekonomian Indonesia kurang optimal. Padahal, potensinya sangat besar, misalnya dalam kontribusi ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Direktur CORE Indonesia, Mohammad Faisal mengungkap, kontribusi ekspor terhadap PDB Indonesia di kisaran 18-20 persen sebenarnya sudah relatif baik, tetapi potensi RI tentu jauh lebih tinggi.
“Sekitar 55 persen [ekspor Indonesia] masih komoditas, manufakturnya 45 persen. Jadi yang didorong itu adalah ekspor manufakturnya,” ujar Faisal kepada Fakta.com, Jumat (17/1/2025).
Pernyataan Faisal sejalan dengan Mari, yakni peningkatan nilai tambah industri dalam negeri. Artinya, Indonesia perlu mendorong kembali industrialisasi yang share-nya terhadap PDB kian melambat.
Dihubungi terpisah, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Aswin Rivai juga menyampaikan hal serupa.
Menurut hematnya, untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, share ekspor terhadap PDB dapat lebih dioptimalkan, misalnya dalam rentang 35-40 persen terhadap PDB.
Beberapa negara tetangga yang sudah mencapai angka share tersebut, misalnya Vietnam dan Malaysia memiliki nilai tambah produk yang besar. Sebab, industri manufaktur di negara jauh lebih pesat dibandingkan dengan Indonesia.
Senada dengan Mari yang menyoroti pentingnya adaptasi di tengah tantangan global, Aswin pun begitu. Dalam hal ini, ia memberi contoh soal potensi tarif dagang Trump yang akan mengubah rantai pasok global. Walhasil, ekspor Indonesia bisa saja terganggu.
“Untuk itu solusinya adalah percepat proses hilirisasi dan penambahan value added produk ekspor kita,” tutur Aswin.
Tantangan Keberlanjutan, Minimnya Bauran Energi Bersih
Mari juga menegaskan bahwa upaya mendorong nilai tambah tersebut, perlu paralel dengan menjaga standar lingkungan.
Terlebih, di tengah isu ancaman lingkungan, seperti perubahan iklim, produktivitas perekonomian terancam tereduksi signifikan.
“Jika kita tidak melakukan apapun, pertumbuhannya akan turun 1,2 persen lebih rendah karena dampak perubahan iklim terhadap produktivitas dan kemudian terhadap pertumbuhan. Dalam jangka panjang, akan turun 6,9 persen,” tutur Mari.
Meski begitu, sayangnya Indonesia masih dihadapkan dengan satu persoalan, yakni minimnya bauran energi bersih di Tanah Air. Fakta tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Eniya Listiani.
Menurut penuturannya, saat ini bauran energi bersih di Indonesia baru mencapai 14,1 persen, sedangkan sisanya masih menggunakan energi fosil. Padahal, potensi Energi Bersih Terbarukan (EBT) di RI sangat besar.
Namun, implementasinya penuh tantangan sehingga realisasi penggunaan EBT di Indonesia bahkan belum sampai satu persen terhadap total potensinya.
“Capaian sampai 2024, data terbaru, (Kapasitas terpasang) sebesar 14,11 (GW) ini kira-kira 0,38 persen (dari total potensi EBT),” beber Eniya dalam sebuah talkshow di Menara Global, Jakarta, Kamis (16/1/2025).