Investor Kendaraan Listrik Masih Enggan Masuk Indonesia
.-.jpg)
Ilustrasi kendaraan listrik (electric vehicle/EV). (Dok. KESDM)
FAKTA.COM, Jakarta - Hilirisasi nikel menjadi siklus yang menjanjikan bagi arus investasi di Indonesia. Saat ini, hilirisasi nikel mencoba untuk berfokus pada produk baterai kendaraan listrik/Electric Vehicle (EV) setelah masif pada hilirisasi produk stainless steel.
Berdasarkan paparan dari Lembaga Management FEB UI, stainless steel masih menjadi kontributor terbesar permintaan nikel. Namun EV Battery menjadi driver utama pengolahan komoditas nikel dengan pertumbuhan permintaan sebesar 43,2% CAGR selama periode 2010-2024.
Sementara itu, apabila dilihat dari potensi pasar EV di pasar domestik masih lebih rendah dibandingkan dengan penetrasi pasar EV di pasar regional. Meskipun Indonesia memiliki sumber daya signifikan, namun permintaan terhadap mobil listrik nasional cenderung lebih rendah dibandingkan negara peers.
Sekretaris Umum (Sekum) Gabungan Industri Otomotif Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara menyorot kajian yang telah dilakukan bersama LPEM FEB UI terkait penjualan yang mentok di angka satu juta.
Kukuh menerangkan, lemahnya pertumbuhan penjualan EV ini dikarenakan adanya kesenjangan yang semakin melebar. Kesenjangan ini terjadi antara daya beli masyarakat khususnya di kelas menengah dengan kenaikan harga mobil.
“Daya beli hanya cuma naik 3 persen, tapi harga mobil rata-rata naik 7,5 persen tiap tahun,” ucapnya.
Sekum Gaikindo, Kukuh Kumara
Sekretaris Umum Gabungan Industri Otomotif Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara singgung kesenjangan antara daya beli dan harga kendaraan. (Fakta.com/Trian Wibowo)
Kukuh menyimpulkan, inilah yang menjadi alasan atas keraguan investor untuk melakukan investasi di bidang otomotif di Indonesia. Padahal pihaknya telah meyakinkan bahwa potensinya akan ada, terlebih tren penurunan manufaktur ini juga dialami oleh negara lain seperti Thailand.
Konsultan Senior Lembaga Manajemen FEB UI, Toto Pranoto menganggap bahwa ketertarikan investor di sektor EV ini bukan semata-mata karena market besar saja. Terdapat faktor Insentif apabila belajar pada kasus Tesla yang tertarik berinvestasi di China.
Selain itu, ada dua hal penting lainnya, Tesla diberikan akses kredit oleh bank-bank nasional China dan jaminan mengenai akses pasar domestik.
“Jadi kisah seperti China ini menurut saya menjadi salah satu hal yang cukup penting, bagaimana kemudian mereka bisa menarik ukuran direct investment dengan cukup,” ungkap Toto.
Di sisi lain, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, juga mengatakan bahwa akses pasar yang besar bukan menjadi satu-satunya aspek mendorong investor masuk.
“Karena investor datang mungkin bukan cuma melihat ketersediaan bahan baku yang melimpah atau pasar yang besar. Mereka juga melihat biaya logistiknya seperti apa, biaya energinya seperti apa, tenaga kerjanya bagaimana, dan seterusnya. Itu juga bisa menjadi pertimbangan,” jelas Ahmad.