KESDM Ungkap Tantangan Wujudkan Target Pemanfaatan EBT
-terapung..jpeg)
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung. (Dok. KESDM)
FAKTA.COM, Jakarta - Target kebutuhan energi sektor industri berdasarkan Net Zero Emission (NZE) 2060 diproyeksikan akan makin didominasi oleh listrik dan Energi Baru Terbarukan (EBT). Namun, Indonesia masih menghadapi banyak tantangan untuk mewujudkan tenggat ini.
Sebagaimana disampaikan oleh Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Anggawira, masih rendahnya penerapan dan pemanfaatan EBT di Indonesia disebabkan oleh beberapa kendala.
“Biaya instalasi pembangkit listrik berbasis EBT masih tinggi,” ucapnya dalam Center of Reform on Economics (CORE) Media Discussion (CMD) di Tebet, Jakarta, Rabu (18/12/2024).
Meski demikian, tambah Anggawira, dalam jangka panjang pemanfaatan EBT akan dapat menghemat biaya energi untuk tenaga listrik.
Di sisi pendanaan minat lembaga keuangan kurang akibat risiko yang masih tinggi. Kendala lainnya untuk pengembangan EBT adalah dibutuhkannya teknologi untuk meningkatkan keandalan EBT dalam bentuk penyimpanan energi, efisiensi konversi, dan integrasi jaringan listrik.
Produksi peralatan EBT di tingkat lokal juga masih terbatas. Belum lagi soal supply dan demand energi perlu diseimbangkan untuk mencegah ketidakstabilan sistem energi nasional. Dari sisi infrastruktur masih diperlukan jaringan transmisi dan distribusi yang menghubungkan EBT ke pusat konsumsi.
“Proyek EBT skala besar membutuhkan lahan yang luas sehingga berpotensi menimbulkan konflik,” ungkap Anggawira.
-dibandingkan-dengan-realisasi-EBT.-.jpg&w=1920&q=75)
Tren capaian EBT di Indonesia. (Dok. KESDM)
Namun, saat ini pemerintah telah berupaya untuk memberikan dukungan bagi pertumbuhan EBT melalui fasilitasi insentif pajak dan kepabeaan untuk mendorong pertumbuhan EBT dan teknologi bersih. Mereka juga memberikan subsidi dan kompensasi untuk mendukung pengembangan EBT serta aktif melakukan integrasi EBT dalam perencanaan dan penganggaran nasional untuk melacak mitigasi dan adaptasi iklim.
Pemerintah pusat meningkatkan jumlah Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang mendukung aksi perubahan iklim di daerah. Dilaksanakan pula sejumlah pembiayaan inovatif untuk memperkuat pembiayaan hijau dan pasar keuangan syariah melalui green bond, SDGs Bond maupun pembiayaan dan penjaminan Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi (PISP) untuk energi panas bumi.
Pada kesempatan yang sama, Ekonom CORE Muhammad Faisal mengatakan, untuk mengembangkan EBT, penting untuk menjaga kualitas dan keamanannya. Oleh karena itu, Jasa Pemastian sangat diperlukan.
Saat EBT didorong untuk tumbuh, kualitas yang tepat harus dijamin, termasuk memastikan aspek keamanannya, mengingat dampaknya yang langsung pada kepentingan orang banyak.
“Hanya sekedar gambaran saja bahwa kalau ditanya, persisnya seperti apa jasa pemastian yang dibutuhkan untuk EBT itu, ya kita bisa lihat dari masing-masing jenis EBT itu. Ada kebutuhan untuk memastikan misalkan di energi laut, perlu ada survei potensi dan studi kelayakannya, perlu ada inspeksi konstruksi, perlu ada sertifikasi kelayakan fasilitas kemas,” lanjut Faisal.
Strategic and Operation PMO Green Business Coordination IDSurvey, Risky Aulia Ulfa menyebut kalau upaya mitigasi ini menjadi sangat serius. Terlebih komitmen Indonesia dalam menekan laju rata-rata suhu Bumi itu tidak melebihi dari 2 derajat Celcius atau bahkan hanya pada batas atas 1,5 derajat Celcius.
“Ketika kita tidak melakukan upaya mitigasi maka diprediksi di 2030, dengan baseline sekarang, potensi emisi gas rumah kacanya hampir ke 50 Giga Ton,” tambahnya.
Riski juga menerangkan bahwa di antara beberapa klasifikasi penurunan Efek Rumah Kaca, sektor energi menjadi prioritas kedua sebagai penyumbang penurunan emisi tertinggi.
Perlu diketahui, sejak tahun 2000 hingga 2019, Emisi Gas Rumah Kaca pada sektor energi memang memberikan sumbangsih yang dominan lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Tren yang ada bahkan cenderung meningkat dalam kurun 19 tahun.