Ekonom Proyeksikan Pelemahan Rupiah Melewati Asumsi APBN 2025, Kok Bisa?

Ilustrasi: Fakta.com/Putut Pramudiko
FAKTA.COM, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tahun depan di level Rp16.100. Angka tersebut berbeda dari asumsi dasar makro APBN 2025 yang telah disepakati. Mengapa bisa demikian?
“Kami memproyeksi pertumbuhan ekonomi ke depan, tahun 2025 itu di angka 5,0 persen, inflasi kami prediksi sebesar 2,8 persen, kurs sekitar Rp 16.100 per satu dolar AS,” ujar Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi INDEF 2025, Kamis (21/11/2024).
Bahkan, sejumlah analis yang dihubungi tim Fakta memperkirakan rupiah berada di kisaran Rp 16.100-16.300 per dolar AS tahun depan.
Informasi saja, posisi kurs rupiah terhadap dolar AS, Kamis (21/11/2024), kembali melemah. Bahkan, angkanya hampir menembus Rp 16.000. Kini, kurs rupiah bertengger di angka Rp 15.942 per dolar AS.
Menanggapi proyeksi tersebut, Dosen Ekonomi Moneter Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Aswin Rivai, mengatakan angka tersebut relevan dengan situasi saat ini. Bahkan, pelemahannya bisa lebih tinggi.
Aswin menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pelemahan rupiah untuk tahun depan. Pertama, perlambatan pelonggaran suku bunga The Fed (Fed Fund Rate) membuat aset-aset Amerika Serikat lebih menarik. Hal ini menyebabkan aliran modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Hal ini memberi tekanan pada rupiah, terutama karena permintaan dolar AS meningkat secara global,” kata Aswin kepada Fakta.com, Jumat (22/11/2024).
Selain itu, Aswin turut menyoroti peningkatan eskalasi konflik geopolitik yang terjadi belakangan ini. Menurut analisisnya, hal ini bisa meningkatkan harga minyak dunia.
Implikasinya, neraca perdagangan akan sebab impor minyak akan lebih mahal. Hal ini disebut Aswin bisa melemahkan rupiah. Terlebih, Indonesia merupakan negara net importir minyak.
Pendapat serupa diungkapkan oleh Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana. Ia bilang, kebijakan restriksi dagang Amerika Serikat ke depan berpotensi membuat suku bunga AS tertahan di level yang tinggi.
Pasalnya, AS akan menjaga potensi laju inflasi akibat dinaikannya tarif perdagangan. Hal tersebut, kata Andri, dapat melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Ia juga menuturkan, ke depan bahkan nilai kurs rupiah terhadap dolar AS bisa saja melebihi level yang sebelumnya ditetapkan pada asumsi ekonomi makro untuk APBN 2025.
Dengan melambatnya pelonggaran suku bunga The Fed, Andri bilang Bank Indonesia akan semakin sulit menjaga nilai tukar.
“Karena asumsi nilai tukar tersebut banyak didasari oleh laju penurunan suku bunga AS yang sebelumnya diprediksi turun signifikan kembali ke level sebelum pandemi di 2025,” kata Andri saat dihubungi FAKTA, Jumat.