Innovative Credit Scoring, Pemecah Kebuntuan Akses Kredit UMKM

Ilustrasi penyaluran kredit perbankan. (Dokumen Bank Indonesia)
FAKTA.COM, Jakarta - Struktur ketenagakerjaan di Indonesia masih didominasi oleh sektor informal yang notabene kebanyakan adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Walhasil, ada kesulitan dalam penyaluran kredit.
Di tengah kondisi tersebut, pemerintah memunculkan Innovative Credit Scoring (ICS). Lantas, bagaimana ICS bisa meningkatkan penyaluran kredit di Indonesia?
Seperti diketahui, di akhir masa jabatannya sebagai Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki pernah bicara soal akses kredit terhadap UMKM. Menurutnya, masih ada 30,76 juta UMKM yang tidak bisa mengakses pembiayaan di perbankan.
Mengatasi hal tersebut, Teten bilang saat ini pemerintah akan menggunakan sistem ICS, terutama pada Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Jadi, menurut Teten dengan skema tersebut, selain melihat data historis bank nantinya UMKM lebih mudah mendapatkan akses pembiayaan menggunakan data alternatif lain, seperti pembayaran listrik dan telekomunikasi.
“Sebab begini, kalau bank masih hanya menggunakan data histori kredit sulit bagi UMKM yang unbankable, yang belum pernah minjam uang ke bank akan mendapatkan KUR,” kata Teten, beberapa waktu lalu ketika ditemui di Gedung DPR
Menanggapi rencana itu, Ekonom INDEF, Izzudin Al Farras Adha mengatakan bahwa ICS dapat memecah kebuntuan terkait sulitnya akses kredit. Pasalnya, menurut Farras tantangan utama dalam penyaluran kredit adalah soal kolateral atau jaminannya dari data historis yang sudah ada.
“Karena orang atau usaha bisa dapat akses kredit kalau data historical-nya ada dan bagus. Terutama, kalau jelek apalagi kalau tidak ada tentu bank akan berpikir beribu-ribu kali untuk bisa menyalurkan kredit kepada orang atau usaha tersebut,” kata Farras kepada Fakta.com, Jumat (25/10/2024).
Farras menambahkan, dengan ICS maka data yang dinilai untuk mengakses kredit bukan lagi sekadar data konvensional yang ada di bank, tetapi lebih inovatif.
“Misalnya tadi data PLN, kemudian data telco atau telekomunikasi, kemudian data BPJS, data pajak, data browser, data internet, macam-macam,” ucapnya.
Nantinya, data-data yang sudah dinilai oleh perusahaan penyedia layanan ICS akan menjual hasil assesment tersebut kepada perbankan. Dengan begitu, perbankan dapat lebih mudah menilai kelayakan kredit orang atau suatu usaha, tetapi penyalurannya meningkat lebih luas.
Meski begitu, Farras mengingatkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mengawasi betul perusahaan-perusahaan ICS. Dengan begitu, hasil penilaian lebih valid dan terverifikasi sehingga risiko kredit bermasalah dapat diperkecil.
Sebelumnya, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat pernah menyampaikan pendapatnya soal ICS.
“Saya kira ini adalah langkah kreatif yang harus kita apresiasi, ini bagus dan merupakan terobosan besar,” kata Achmad, baru-baru ini.
Di samping itu, Achmad mengatakan penerapan ICS ini perlu diikuti dan melibatkan perbankan lebih luas. Dengan begitu, penyaluran kredit akan lebih masif.
Selain ICS, Achmad juga bilang, kebijakan perbankan seharusnya dapat direlaksasi. Dengan begitu, sektor informal dapat lebih mudah mengakses pembiayaan kredit.
“Kalau kita mau sebetulnya kita bisa merelaksasi aturan perbankan ya, mungkin kita bisa merevisi beberapa aturan atau kita memperluas database kita sehingga orang lagi tidak lagi harus misalkan mempunyai pekerjaan tetap, penghasilan tetap, jaminan dan sebagainya (untuk akses kredit),” pungkas Achmad