Ekonom Ini Usulkan Realisasi Anggaran Pendidikan Digugat, Kenapa Ya?

Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky dalam sebuah diskusi soal anggaran pendidikan, Selasa (10/9/2024). (Tangkapan layar Youtube Awalil Rizky)

FAKTA.COM, Jakarta - Konstitusi mengamanatkan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran negara minimal 20% untuk pendidikan. Amanat tersebut disebut sebagai mandatory spending yang mana termaktub dalam Pasal 31 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.

Meski dalam perencanaan anggaran, yakni APBN, alokasi kepada pendidikan selalu memenuhi besaran mandatory spending tersebut, ternyata realisasinya relatif tidak mencapai angka yang sudah ditentukan.

Fakta tersebut diungkap Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky dalam sebuah diskusi soal anggaran pendidikan, Selasa (10/9/2024).

Anies Baswedan: Anggaran Pendidikan adalah Investasi, Bukan Biaya

Awalil mengatakan, dalam empat tahun terakhir, realisasi anggaran pendidikan cenderung rendah, misalnya tahun 2023 yang dianggarkan Rp624,25 triliun, tetapi realisasinya hanya Rp513,39 triliun atau 82,24%.

Hal yang sama terjadi pada dua tahun sebelumnya, yaitu: 87,20% (2021) dan 77,30% (2022). Sementara itu, tahun 2024 sedang berjalan diperkirakan realisasi anggaran pendidikan hanya mencapai 80% saja.

Rendahnya realisasi anggaran pendidikan tersebut membuat rasionya jika dibandingkan dengan total belanja selalu di bawah 20% dalam empat tahun terakhir. Jika realisasi tersebut dihitung dari total Belanja maka rasionya sebagai berikut: 18,25% (2020), 17,21% (2021), 15,51% (2022) dan 16,45% (2023).

UKT Naik, DPR Pertanyakan Alokasi Anggaran Pendidikan Rp665 Triliun

Melihat tren tersebut, Awalil bilang itulah yang melatarbelakangi munculnya usulan perhitungan mandatory spending 20% tidak lagi terhadap anggaran, melainkan pendapatan negara.

“Usulan itu ada karena kesulitan pemerintah memenuhi amanat UUD 1945,” kata Awalil.

Menanggapi rincian data tersebut, Bright Institute mengusulkan untuk menggugat realisasi anggaran pendidikan (2020-2023) yang tidak memenuhi mandatory spending 20% itu karena dianggap tidak sesuai dengan amanat konstitusi.

“Realisasi APBN yang dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) ditetapkan oleh DPR sebagai Undang-Undang. Undang-Undang mestinya bisa diuji ke Mahkamah Konstitusi,” pungkas Awalil.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//