FAKTA.COM, Jakarta - Ada fakta baru dalam menyoal pelemahan daya beli kelas menengah. Ternyata, rendahnya serapan tenaga kerja di sektor formal jadi salah satu penyebabnya.
Seperti diketahui, Indonesia sedang dihadapkan dengan persoalan pelemahan daya beli kelas menengah. Fakta tersebut terlihat dari tren kelas menengah yang kerap merosot.
Persentase kelas menengah turun dari 21,45% pada 2019 menjadi 17,13% di 2024. Jumlahnya kini 47,85 juta orang, berkurang signifikan dari 57,33 juta orang pada 2019.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB), Muhammad Yorga Permana mengungkap tren ini salah satunya disebabkan dari terbatasnya akses pekerjaan layak untuk kelas menengah. Hal itu ia sampaikan dalam Diskusi Publik INDEF, Senin (9/9/2024).
Yorga mengatakan, rendahnya serapan tenaga kerja formal dan menurunnya kelas menengah merupakan dua hal yang berkaitan. Pasalnya, merujuk kepada definisi ILO, tenaga kerja informal sangat rentan karena tidak ada income bulanan, perlindungan sosial, dan tidak memenuhi kategori kerja layak menurut definisi dari ILO.
Di samping itu,kondisi tenaga kerja sektor formalnya pun bermasalah. Menurut temuan Yorga, pada tahun 2019 sebanyak 45% pekerja formal memiliki gaji di bawah UMR, ia bahkan bilang hari ini mungkin angkanya bisa mencapai lebih dari 50%.
“Jadi, masih jauh sekali kita bicara kerja layak untuk kelas menengah,” kata Yorga.
Yorga juga menyoroti soal indikasi terjadinya deindustrialisasi prematur di Indonesia sehingga hal ini membuat serapan tenaga kerja formal semakin terbatas.
Merujuk kepada data yang dipaparkannya, dalam periode (2014-2019) tenaga kerja sektor manufaktur stagnan di angka 13%-14%. Di samping itu, meski tenaga kerja di sektor pertanian terus mengalami penurunan, tetapi pindahnya ke sektor jasa berketerampilan rendah, seperti pedagang eceran.
Menanggapi persoalan tersebut, Yorga menyampaikan beberapa rekomendasi kebijakan untuk menciptakan lapangan pekerjaan layak. Ada tiga pendekatan, yaitu kebijakan sektoral, targeted, dan berbasis lokasi.
Untuk kebijakan industri, Yorga mengatakan harus difokuskan pada sektor yang memberikan local multiplier terbesar, yakni manufaktur.
“Sektor manufaktur itu local multipliernya 1,6-2, jadi artinya apabila ada pabrik baru yang menyerap 100 orang tenaga kerja, bisa menciptakan 200 pekerjaan baru di sekitarnya, kos-kosan, penjual bakwan, laundri, dan lain sebagainya,” kata Yorga menambahkan.
Di samping itu, Yorga juga bilang sektor jasa berketrampilan tinggi juga perlu didorong. Menurutnya, banyak pekerjaan di jasa berketerampilan tinggi menjadikan freelance sebagai batu loncatan untuk membuka usahanya sendiri.
“Ini cerita yang cukup menarik bagaimana sektor jasa berketerampilan tinggi bisa didorong dengan industrial policy yang modern agar lebih banyak orang yang membuka lapangan pekerjaan di sektor tersebut,” pungkas Yorga.