Tak Lagi Jadi Pesta Belanja, Ramadan 2025 Justru Tunjukkan Krisis Konsumsi

Ilustrasi - Konsumsi dan tabungan masyarakat Indonesia. (Fakta.com/Putut Pramudiko)
FAKTA.COM, Jakarta – Momentum Ramadan tahun ini gagal mendorong laju konsumsi masyarakat secara signifikan. Fakta ini terungkap dalam laporan makroekonomi Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) yang dirilis pada Rabu (23/4/2025).
Selama bulan suci, penjualan ritel hanya tumbuh sebesar 0,5 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Kinerja ini tergolong stagnan dan jauh di bawah ekspektasi musiman.
“Penjualan ritel nyaris tak bergerak, hanya naik 0,5 persen dibanding tahun lalu. Ini menunjukkan masyarakat masih berhati-hati dalam berbelanja, meski biasanya ada dorongan dari faktor musiman,” tulis SSI dalam laporan tertulisnya.
Fenomena ini sejalan dengan melemahnya kepercayaan konsumen. Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) pada Maret 2025 tercatat sebesar 121,1, angka terendah dalam lima bulan terakhir dan berada di bawah rata-rata setahun terakhir yang sebesar 124,7.
Menurut SSI, lemahnya konsumsi kali ini kontras dengan pola historis, di mana Ramadan biasanya menjadi pendorong utama konsumsi rumah tangga, khususnya pada sektor makanan, pakaian, dan hiburan.
Penurunan konsumsi ini juga menjadi sinyal bahwa tekanan ekonomi telah menjangkau kelompok masyarakat kelas menengah, yang selama ini menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi domestik.
Di sisi lain, upaya pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat menghadapi tantangan berat dari sisi fiskal. Ini tercermin dari lonjakan Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun, yang naik hingga 51,1 persen sejak awal 2025.
SSI menilai, peningkatan CDS mencerminkan meningkatnya persepsi risiko terhadap kemampuan pemerintah dalam membayar utang. Kondisi ini berpotensi memperbesar biaya pinjaman dan mempersempit ruang fiskal, yang semestinya bisa digunakan untuk merangsang konsumsi.

“Lonjakan CDS mengindikasikan meningkatnya persepsi risiko terhadap kemampuan pemerintah membayar utang, yang pada gilirannya dapat memperbesar biaya pinjaman dan mempersempit ruang fiskal,” jelas SSI.
Di tengah lemahnya permintaan domestik, beban utang, dan suku bunga tinggi menjadi tantangan ganda yang menghambat pemulihan ekonomi.
Apalagi, depresiasi nilai tukar Rupiah dan proyeksi pelebaran defisit fiskal sebesar 2,9 persen terhadap PDB tahun ini diyakini akan semakin membebani kebijakan pemerintah.
Menurut SSI, ketergantungan terhadap pembiayaan eksternal menggambarkan lemahnya kapasitas fiskal domestik. Dalam kondisi tekanan utang dan pelebaran defisit saat ini, hal ini mempersempit ruang pemerintah untuk mengintervensi melalui stimulus konsumsi atau belanja publik.