Imbas Perang Dagang, Defisit Neraca Transaksi Berjalan RI bisa Melebar

Ilustrasi - Defisit APBN. (Fakta.com/Putut Pramudiko)
FAKTA.COM, Jakarta – Dampak lain yang muncul dari memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China adalah tekanan pada neraca transaksi berjalan Indonesia. Mengapa demikian?
Ekonom INDEF, Abdul Manap Pulungan memberikan penjelasan terkait hal tersebut. Menurutnya, hal yang perlu diantisipasi dari perang dagang ini adalah situasi masih bisa memburuk, sebab Amerika Serikat dan China terpantau masih saling gigit.
Seperti diketahui, AS dan China masih saling beradu tarif. Perkembangan terbaru, AS mengenakan tarif sebesar 245 persen untuk semua produk China. Hal ini merespons perlawanan yang terus dilakukan China. Sementara itu, tarif yang dikenakan China untuk produk AS adalah sebesar 125 persen.
Namun, hal ini masih bisa memburuk. Terlebih, pihak China pun memberikan pernyataan bahwa mereka tidak akan gentar jika AS terus memprovokasi.
“Hal yang perlu diantisipasi dari pegang dagang AS–China, sampai sekarang belum final, masih balas-balasan. Khawatirnya, produk-produk [China] yang tidak bisa diperdagangkan ke AS pada akhirnya bisa bergerak ke Indonesia dan pada akhirnya bisa mempengaruhi neraca perdagangan,” jelas Abdul dalam Diskusi Publik INDEF, Kamis (17/4/2025), secara daring.
Apalagi, data menunjukkan bahwa RI masih menjadi salah satu pangsa ekspor terbesar China. Bahkan, defisit neraca dagang terbesar Indonesia pun disumbang oleh China.
Walhasil, Abdul mengkhawatirkan adanya tekanan pada neraca dagang Indonesia, terlebih jika dikaitkan dengan transaksi berjalan RI.
“Karena inilah yang menopang agar neraca transaksi berjalan tidak defisit sangat besar,” jelas Abdul.
Benar saja, jika melihat laporan Bank Indonesia, data menunjukkan bahwa neraca perdagangan menjadi penopang utama transaksi berjalan. Dari sejumlah pos yang mencatatkan kinerja jeblok, neraca perdagangan masih mencatatkan surplus yang relatif besar.
Maka, tidak heran jika Abdul mengkhawatirkan adanya tekanan pada neraca transaksi berjalan imbas dari perang dagang ini. Terlebih, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia langganan catatkan defisit pada neraca transaksi berjalan.
Sepanjang tahun lalu saja, angka defisitnya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 0,63 persen. Tidak hanya Abdul, sejumlah pengamat juga memperkirakan adanya pelebaran defisit neraca transaksi berjalan RI di tengah goncangan perang dagang ini.
Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia (SSI), Fithra Faisal Hastiadi juga mengungkap hal sama. Menurut proyeksi pihaknya, defisit neraca transaksi berjalan dapat melebar. Bahkan, pada akhirnya juga memicu depresiasi rupia
“Dari sisi current account kita bisa dapat defisit lebih tinggi. Forecast kami itu 1,5 persen terhadap PDB. Rupiah bisa dalam kondisi tekanan lagi karena ketika current account deficit itu tertekan, maka Rupiah juga akan terdepresiasi lebih tinggi,” jelas Fithra dalam webinar Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (PEBS FEB) Universitas Indonesia, Rabu (16/4/2025).
Bahkan, atas potensi melebarnya neraca transaksi berjalan dan depresiasi Rupiah ini, Fithra memprediksi pertumbuhan ekonomi RI tahun ini melambat pada level 4,8 persen.