Ekonom Kritik BI: Inflasi Terkendali Tapi Daya Beli Tertekan

Ilustrasi - Inflasi Turun. (Dok.Fakta.com)
FAKTA.COM, Jakarta – Di balik pujian atas keberhasilan menjaga inflasi tetap rendah, Bank Indonesia (BI) mendapat sorotan tajam dari kalangan ekonom. Kebijakan operasi moneter yang terus bersifat absorptif, disebut-sebut justru memperparah pelemahan ekonomi riil.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menilai arah kebijakan Bank Indonesia dalam lima tahun terakhir, terutama sepanjang 2024 hingga awal 2025, terlalu fokus untuk menyerap uang beredar dari pasar.
“Arah kebijakan demikian makin tampak selama lima tahun terakhir, dan melonjak pada tahun 2024,” ucap Awalil dalam keterangan tertulisnya pada Rabu (16/4/2025).
Total nilai Operasi Moneter (OM) yang menyerap likuiditas pada akhir Maret 2025 mencapai Rp922,58 triliun. Angka ini melonjak hampir tiga kali lipat dibanding akhir 2019.
Instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) mendominasi dengan nilai Rp891,13 triliun, sebagian besar justru condong pada kepemilikan oleh pihak asing.
Kebijakan ini, menurut Awalil memang efektif menekan inflasi, namun seraya membuat perbankan enggan menyalurkan kredit ke sektor rill.
“Ekonom bisa mengartikan sebagai kurangnya dorongan pada pertumbuhan ekonomi, termasuk penciptaan lapangan kerja. Ekonom pun dapat mengkritik kebijakan ini yang membuat bank menjadi ‘malas’ menyalurkan ke sektor riil,” ucap Awalil.
Pihak yang paling merasakan dampak adalah kelompok masyarakat kelas bawah dan menengah. Hemat Awalil, likuiditas di pasar dan lambatnya distribusi kredit, konsumsi masyarakat pun bisa ikut tertekan.
Ketika ekonomi semestinya didorong, alih-alih memberi stimulus, kebijakan fiskal dan moneter justru makin ketat dan mempersempit ruang gerak.
“Pada saat ketidakpastian meningkat dan perekonomian cenderung melemah, mestinya otoritas ekonomi [pemerintah dan Bank Indonesia] lebih bersikap ‘countercyclical’. Namun, daya untuk itu cenderung makin lemah,” kritiknya.
Sementara itu, tercatat per (14/4/2025), BI juga aktif membeli Surat Berharga Negara (SBN) dengan total kepemilikan mencapai Rp1.548,81.
Menurut Awalil, kondisi ini menimbulkan kesan bahwa likuiditas condong disalurkan ke pemerintah ketimbang ke sektor usaha.