Fakta.com

Rupiah Oleng: Capital Outflow di Depan Mata?

Ilustrasi - Pelemahan Rupiah. (Freepik).

Ilustrasi - Pelemahan Rupiah. (Freepik).

Google News Image

FAKTA.COM, Jakarta – Nilai tukar Rupiah masih menunjukkan tren pelemahan meskipun sempat menguat tipis sebesar 15 poin (-0,09 persen) dalam perdagangan harian pada Rabu (26/3/2025). Rupiah bergerak di kisaran 16.554–16.657 terhadap Dolar AS.

Tekanan terhadap Rupiah semakin kuat seiring dengan dominasi Dolar AS di pasar global, yang tercermin dari kenaikan indeks Dolar (DXY) ke level 104,32. Kondisi ini memicu kekhawatiran akan potensi capital outflow dari Indonesia.


Situasi ini menjadi ujian bagi perekonomian domestik, yang semakin tertekan oleh faktor eksternal. Sejumlah ekonom menyoroti risiko meningkatnya capital outflow akibat pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS.

Salah satunya adalah Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi. Dalam keterangannya pada Selasa (25/3/2025), ia menyebutkan bahwa ada dua faktor utama yang memperparah situasi ini.

“Kombinasi ini menciptakan tekanan ganda terhadap stabilitas nilai tukar, inflasi energi, serta keseimbangan fiskal Indonesia” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Fakta.com.

Faktor pertama adalah kebijakan The Federal Reserve (The Fed) yang menunda pelonggaran suku bunga. The Fed enggan menurunkan suku bunga secara terburu-buru karena inflasi di AS masih belum sepenuhnya jinak.


Presiden The Fed New York, John Williams, menegaskan bahwa kondisi suku bunga saat ini tetap relevan di tengah ketidakpastian kebijakan fiskal dan geopolitik AS.

“Konsekuensinya, aliran dana global akan tetap condong ke aset Dolar yang aman dan menguntungkan, meninggalkan emerging markets seperti Indonesia dalam posisi rawan capital outflow,” imbuh Syafruddin.

Selain itu, lonjakan harga minyak dunia akibat sanksi terbaru terhadap Iran serta kebijakan pemangkasan produksi oleh OPEC+ turut memberikan dampak signifikan. Hal ini memperburuk tekanan terhadap stabilitas Rupiah dan meningkatkan biaya impor energi bagi Indonesia.

Penguatan Dolar AS semakin menegaskan pergeseran arus modal global ke aset-aset aman seperti obligasi pemerintah AS.

Salah satu indikator yang memperkuat tren ini adalah penurunan yield US Treasury (UST) 10 tahun ke level 4,237 persen.

“Permintaan terhadap obligasi pemerintah AS meningkat, yang mengindikasikan bahwa investor lebih memilih menempatkan dana mereka di pasar yang dianggap lebih stabil. Situasi ini memberikan tekanan tambahan bagi mata uang negara berkembang seperti Rupiah," sebut Syafruddin.

Senada dengan itu, Peneliti Senior Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Sebelas Maret (FEB UNS) dan CORE Indonesia, Etikah Karyani menekankan bahwa dampak pelemahan Rupiah terhadap arus modal asing di Indonesia masih sebatas pada antisipasi jangka pendek.

“Arus modal asing yang masuk ke Indonesia, khususnya melalui instrumen Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), cenderung bersifat jangka pendek dan spekulatif,” jelas Etikah kepada Fakta pada Jumat (21/3/2025).

“Jika tekanan global terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan terjadi capital outflow yang lebih besar,” Imbuhnya.

Dalam pernyataan tertulisnya, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, mengungkapkan bahwa sepanjang pekan ketiga Maret 2025, terjadi arus keluar modal asing (capital outflow) dari pasar keuangan domestik sebesar Rp 4,25 triliun.

Sementara itu, data yang dihimpun dari Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang Februari 2025 menunjukkan tren defisit pada net arus modal asing.


Etikah menganggap, Ketergantungan pada intervensi moneter dari Bank Indonesia (BI) untuk menstabilkan Rupiah juga perlu dicermati.

Jika tekanan eksternal terus meningkat tanpa diimbangi dengan fundamental ekonomi yang kuat, efektivitas intervensi BI dapat berkurang.

Hal ini berisiko menyebabkan pelemahan lebih lanjut terhadap nilai tukar Rupiah dan meningkatkan volatilitas di pasar keuangan domestik.

Untuk menghadapi ancaman capital outflow, para analis menekankan pentingnya memperkuat fundamental ekonomi melalui kebijakan yang lebih strategis.

Beberapa langkah yang disarankan antara lain memperkuat surplus neraca berjalan, menerapkan kebijakan fiskal yang kredibel, serta meningkatkan daya tarik investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI) dibandingkan hanya bergantung pada investasi portofolio jangka pendek.

Trending

Update News