Serapan Tenaga Kerja dan Angka PHK, Simak Data dan Faktanya

Ilustrasi - Tenaga Kerja ter-PHK. (Fakta.com/Putut Pramudiko)
FAKTA.COM, Jakarta – Indonesia tengah dihadapkan dengan persoalan ketenagakerjaan. Angka karyawan ter-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di Tanah Air terus meroket. Di sisi lain, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengungkap bahwa serapan tenaga kerja baru di sektor manufaktur sangat besar sehingga memberikan alternatif untuk karyawan yang ter-PHK.
Lantas, bagaimana data dan fakta sebenarnya?
Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan situasi yang cukup sulit setahun ke belakang. Sepanjang tahun lalu, angka PHK di Indonesia mencapai 77.965 karyawan. Atas catatan tersebut, angka PHK Indonesia meningkat 20,22 persen secara tahunan (yoy).
Di tengah kondisi itu, Agus dalam keterangan resminya mengatakan bahwa sepanjang tahun lalu, serapan tenaga kerja baru di sektor manufaktur mencapai 1,082 juta orang. Menurutnya, ini menciptakan alternatif pekerjaan baru untuk korban PHK.
“Kemenperin terus berupaya meningkatkan investasi baru di sektor manufaktur, mendorong munculnya industri baru untuk mulai berproduksi sehingga menyerap tenaga kerja baru lebih banyak dan menjadi alternatif lapangan kerja bagi pekerja yang terdampak PHK,” kata Agus, Selasa (4/3/2025), di Jakarta.
Menanggapi hal ini, Ekonom Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengungkap bahwa klaim tersebut perlu diverifikasi lebih lanjut.
Sebab, di tengah tingginya serapan tenaga kerja baru manufaktur tersebut yang bahkan jauh melampaui angka PHK di seluruh sektor ekonomi, tetapi jumlah pengangguran Tanah Air justru meningkat.
Akan tetapi, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan per Agustus 2024, jumlah pengangguran sebesar 7,47 juta orang. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan Februari 2024 yang dicatatkan sebesar 7,20 juta orang.
Bukan hanya itu saja, Achmad pun menyoroti kualitas ketenagakerjaan di Tanah Air. Misalnya, dominasi tenaga kerja informal yang tinggi. Terlebih, sektor informal tidak tercatat dalam data resmi sehingga bisa saja angka PHK jauh lebih besar dibandingkan publikasi pemerintah.
“Ketiadaan data yang akurat mengenai pekerja informal membuat evaluasi kualitas ketenagakerjaan menjadi tidak komprehensif,” kata Achmad dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/3/2025).
Bahkan, kata Achmad jika menarik rentang waktu yang lebih panjang, yakni 20 tahun terakhir. Penyerapan tenaga kerja formal baru (2014-2024) hanya 10,56 juta pekerjaan. Sementara itu, dalam periode (2004-2014) yang berhasil terserap sebesar 15,62 juta tenaga kerja.
Terakhir, Achmad menegaskan bahwa pemerintah perlu berhati-hati dalam klaim data mengenai penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Sebab, temuan data di atas menunjukkan persoalan dalam reliabilitas data ketenagakerjaan. Di lain sisi, ini menunjukkan adanya koordinasi yang buruk antara K/L di pemerintah.
“Peningkatan angka PHK dan jumlah pengangguran menunjukkan bahwa masih banyak tantangan yang harus diatasi dalam sektor ketenagakerjaan,” pungkas Achmad.














