Daya Beli Lesu, Pertumbuhan Ekonomi Tak Bisa Hanya Andalkan Konsumsi

Ilustrasi - Daya beli melemah. (Fakta.com/Putut Pramudiko)
FAKTA.COM, Jakarta – Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03 persen pada 2024, sedikit lebih rendah dibandingkan 5,05 persen pada tahun sebelumnya.
Selama ini, konsumsi rumah tangga menjadi motor utama perekonomian nasional. Namun, model ini dinilai tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi.
Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi akan mengalami stagnasi jika terus bergantung pada konsumsi semata.
Pernyataan ini disampaikan Bambang dalam acara "Bloomberg Technoz Economic Outlook 2025" di Jakarta, Kamis (20/2/2025). Menurutnya pertumbuhan yang hanya bertumpu pada konsumsi memiliki keterbatasan.
Meskipun konsumsi rumah tangga tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan sebesar 4,94 persen sepanjang tahun, angka ini masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).
Fakta ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga, sementara daya beli masyarakat mengalami penurunan.
Bahkan, melemahnya daya beli terlihat dari berkurangnya jumlah kelas menengah, dari 48,27 juta orang pada 2023 menjadi 47,85 juta orang pada 2024.
"Kita tidak bisa hanya mengandalkan masyarakat untuk terus berbelanja guna menggerakkan ekonomi. Ketika daya beli melemah, konsumsi tidak akan cukup untuk mendorong pertumbuhan di atas 5 persen," tegas Bambang.
Masyarakat Tak Peduli Berapapun Angka Pertumbuhan Ekonomi
Seruan menuju Indonesia Emas 2045 dengan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi semakin masif. Pemerintah selalu menyerukan ambisi target pertumbuhan hingga 8 persen.
Namun, menurut Bambang, bagi masyarakat, angka pertumbuhan ekonomi tidak akan memiliki makna signifikan jika tidak diikuti oleh peningkatan kesejahteraan nyata.
"Masyarakat tidak peduli apakah pertumbuhan ekonomi 5 persen atau 6 persen. Tapi jika mereka tahu bahwa pertumbuhan lebih tinggi berarti lebih banyak lapangan pekerjaan tersedia, maka mereka akan merasakan manfaatnya langsung," katanya.
Oleh karena itu, kebijakan ekonomi harus difokuskan pada penciptaan lapangan kerja melalui industrialisasi dan peningkatan investasi.
Bambang menekankan bahwa negara-negara yang berhasil keluar dari jebakan pendapatan menengah, seperti Korea Selatan, Jepang, dan China, tidak hanya bertumpu pada konsumsi, tetapi juga mengandalkan industrialisasi dan investasi.

Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro Bambang dalam "Bloomberg Technoz Economic Outlook 2025" di Jakarta, Kamis (20/2/2025). (Fakta.com/Trian Wibowo)
Apa Kabar Sektor Manufaktur Indonesia?
Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 1994-1995, didorong oleh sektor manufaktur. Namun, saat ini kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB hanya sekitar 19 persen.
Menurut Bambang, angka ini masih belum cukup untuk membawa Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI dalam rilisnya belum lama ini juga mencatat bahwa sektor manufaktur saat ini tidak berada dalam fase ekspansi. LPEM juga memandang akan sulit bahkan untuk menggenjot pertumbuhan di 5 persen.
Bahkan, kontraksi sektor manufaktur pada 2024 merupakan yang pertama sejak penurunan tajam selama periode COVID-19 pada Juli dan Agustus 2021.
Data menunjukkan bahwa dari Agustus hingga November 2024, Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia berada di bawah level 50. Kondisi ini menunjukkan tren yang lebih menurun dibandingkan tahun sebelumnya.