Beda Cerita, Begini Jomplangnya Kebijakan Efisiensi Anggaran RI dan Argentina

Realisasi Anggaran 15 K/L. (Fakta.com/Adelia Bayumurti)
FAKTA.COM, Jakarta – Efisiensi anggaran yang diterapkan oleh Pemerintahan Prabowo dinilai sebagai upaya strategis untuk membiayai program-program kerja prioritas. Namun, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Kemasyarakatan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menganggap pemangkasan anggaran secara drastis sebagai hasil perencanaan fiskal yang terburu-buru.
LPEM FEB UI mengungkap bahwa pos-pos pemotongan anggaran yang dilakukan berpotensi menggerogoti kemampuan Kementerian/Lembaga (K/L) dalam menjalankan tugas dan fungsinya. LPEM juga menyoroti ketidakefektifan kebijakan ini jika dibandingkan dengan keberhasilan kebijakan serupa yang diterapkan di Argentina.
Meskipun efisiensi anggaran sangat dibutuhkan, langkah pemangkasan anggaran ini dilakukan bersamaan dengan fakta adanya pelebaran kabinet yang signifikan.
“Rencana pemerintah meningkatkan efisiensi belanja fiskal ini tampak tidak koheren dan cenderung kontraproduktif dengan langkah sebelumnya, yakni memperluas kabinet secara drastis,” tulis LPEM FEB UI dalam laporannya yang diterbitkan pada Rabu (5/2/2025).
Sebagai informasi, Presiden Prabowo sebelumnya memutuskan untuk memperlebar kabinetnya sebesar 41 persen, dari 34 K/L menjadi 48, serta melipatgandakan jumlah wakil menteri dari 18 menjadi 55.
Efisiensi anggaran yang dimaksud dilakukan melalui Instruksi Presiden No. 1/2025, yang merinci pemangkasan anggaran sebagai berikut: efisiensi belanja K/L sebesar Rp256,10 triliun dan pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun, sehingga total pemotongan anggaran mencapai Rp306,69 triliun.
Dalam konteks ini, LPEM FEB UI menganggap bahwa efisiensi anggaran yang dilakukan di tengah penggemukan kabinet secara besar-besaran bukanlah langkah yang tepat.
Pada Desember 2023, Presiden Argentina, Javier Gerardo Milei melakukan kebijakan serupa. Milei, yang sebelumnya seorang ekonom, dinilai berhasil melakukan penghematan agresif yang efektif untuk memperbaiki kondisi fiskal negaranya.
Pada masa awal kepemimpinan Presiden Argentina yang dilantik pada (10/12/2025) ini, Argentina tengah dilanda krisis ekonomi dan mewarisi pengelolaan ekonomi yang buruk dari rezim sebelumnya.
Pada 2023, Argentina mencatatkan inflasi tertinggi kedua di dunia dengan angka mencapai 211 persen, sementara Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan berkelanjutan sejak 2008.
Tak hanya itu, tahun pertama menjabat, Presiden Milei dihadapi pada kondisi pemblokiran Argentina untuk dapat mengakses pasar keuangan internasional selama 4+ tahun.
Di tengah peliknya situasi ekonomi Argentina pada saat itu, Presiden Milei melakukan sejumlah kebijakan melalui strategi “Chainsaw”, yaitu memangkas birokrasi pemerintah secara besar-besaran.
Diketahui, ada 18 kementerian, 200 direktorat lembaga, dan 100 sekretariat yang dihilangkan dalam kabinet Presiden Milei. Begitupun efisiensi dilakukan melalui pemberhentian 30.000 pegawai negeri serta pengurangan fiskal sekitar 31 persen di 10 bulan pertama menjabat.
Mendukung strategi “Chainsaw”, Presiden Miei membentuk kementerian baru, yaitu Kementerian Deregulasi dan Transformasi negara. Kantor ini dipimpin oleh Frederico Struzerngger yang merupakan lulusan PhD Ekonomi dari Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat sekaligus mantan Presiden Bank Sentral Argentina.

Presiden Argentina, Javier Gerardo Milei saat menjadi pembicara dalam World Economic Forum (WEF) 2025 di Davos, Swiss. (Dok. WEF)
Dalam kementerian baru Argentina ini, Frederico bertugas untuk membantu Presiden dalam mengurangi belanja publik serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas keseluruhan lembaga pemerintah.
Walhasil, atas kebijakan efisiensinya itu, surplus fiskal pun terjadi setelah Argentina larut dalam defisit panjang selama 14 tahun berturut turut.
Bukan hanya itu, inflasi Argentina berhasil ditekan sebesar 93,6 persen dari 2023 menjadi sebesar 117,8 persen di Desember 2024 serta mencatatkan pertumbuhan PDB yang posiif pada Triwulan III-2024.
Saat ini, Indonesia memiliki tujuan yang sama dengan Argentina dalam hal meningkatkan efisiensi Anggaran.
Namun demikian, dalam laporan tertulisnya ini, LPEM FEB UI menyebutkan bahwa Argentina mengilustrasikan keberhasilannya dengan mengurangi ukuran birokrasi secara agresif, sementara Indonesia justru cenderung memperbesar jumlah kabinetnya.
"Dengan penggemukan kabinet, justru akan meningkatkan risiko beban anggaran negara. Hal ini berpotensi memperburuk keadaan Indonesia, mengingat terbatasnya ruang fiskal yang sudah ada sebelumnya," bunyi laporan tersebut.